Siang itu, setelah bangun dari tidur yang cukup lama, aku terkejut melihat jari kelingking di tangan kananku lenyap. Lebih mengherankan lagi tidak ada bekas luka atau darah sedikitpun. Tak ada rasa nyeri. Aku perhatikan dengan seksama bagian yang dulu pernah didiami oleh jari kelingkingku itu. Aneh. Bagian itu terputus rapi seolah dipotong dengan teknik tingkat tinggi.
Rasa bingung yang menggerayangi pikiran sehatku memaksaku untuk mengunjungi sebuah Puskesmas yang ada di dekat balai desa. Aku jelaskan perihal lenyapnya jari kelingkingku pada seorang wanita paruh baya yang tampak elok dengan stelan putihnya.
“Wah… ini sangat tidak masuk akal. Mustahil!” wanita itu memegang tanganku sementara matanya menelisik bagian tangan yang kehilangan jari kelingkingnya.
“Belum pernah saya melihat kejadian seperti ini. Saya rasa tidak ada penjelasan medis untuk jari yang tiba-tiba hilang.” Ia terus menceracau. Rasa bingung yang terpancar dari sorot matanya yang dibingkai kacamata tipis itu tak kalah besar dengan rasa bingungku.
“Apa Anda yakin tidak ada suatu penyakit yang menyebabkan peristiwa ini, Dokter? Seperti sebuah virus begitu?”
“Tidak, tidak mungkin ini disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Jika memang karena serangan virus, pasti akan ada bekas fagosit antigen yang akan membuat tangan Anda berjejak luka. Untuk sementara saya tangguhkan dulu penjelasan mengenai peristiwa ini. Saya akan coba pelajari lagi.”
“Baiklah, Dok. Saya harap anda segera mendapatkan penjelasannya,” ujarku pasrah. Aku lantas berjalan keluar Puskesmas meninggalkan wanita itu dalam rasa bingungnya.
Tangan kananku telah aku balut dengan perban. Hal ini sengaja kuminta pada dokter tadi agar menyamarkan kejanggalan yang terjadi. Merasa tidak mendapat apa-apa dari penjelasan dokter itu, kuputuskan untuk mengunjungi tempat dukun yang cukup dikenal di daerahku, walaupun sebenarnya aku tidak begitu percaya dengan perdukunan. Namanya Mak Karani.
Setiba di jalan berkelok yang mengarah ke sebuah bukit yang tegak di antara petakan sawah, aku berhenti sejenak. Kuputar pandangan lurus ke jalan setapak mendaki yang membentang menuju sebuah pondok kecil,tempat dukun itu tinggal. Sekeliling jalan yang dipenuhi pecahan batu gunung dan tanah liat itu tumbuh semak-semak yang cukup rimbun. Beberapa pohon bambu tinggi menjulang, sehingga hanya sedikit berkas sinar matahari yang dapat masuk menyentuh tanah. Suara gemerisik dedaunan ditingkah angin beradu padu dengan suara segerombolan monyet yang berteriak-teriak nyaring. Menimbulkan suasana mistis tersendiri.
Seketika bulu kudukku merinding. Namun, rasa penasaran yang terus menyesak membuatku memberanikan diri untuk melanjutkan perjalanan
Kurang lebih setengah jam perjalanan kutempuh, hingga akhirnya aku sampai di depan sebuah pondok bamboo yang dicat hitam seluruhnya. Ada dua buah jendela besar, masing-masing di kiri dan kanan pondok yang menghadap ke matahari terbenam. Dari kedua jendela itu tercium bau kemenyan dan rempah-rempah yang dibakar. Sementara itu di atap pohon yang terbuat dari rumbia, seekor monyet besar duduk sambil matanya yang merah itu menusuk tepat ke dalam mataku
Aku gelagapan. Tanpa mau mengambil resiko lebih, segera aku masuk ke dalam pondok.
“Permisi, apa ada orang?” teriakku sambil terus mengetuk-ngetuk pintu.
Tak ada sahutan sedikitpun dari dalam.
“Permisi, apa ada orang?” teriakku lagi dengan suara yang lebih keras
Setelah panggilan kedua inilah, sebuah langkah mulai terdengar mendekat ke arah pintu. Trak!
Pintu terbuka disusul rasa dingin yang segera menyelimuti tubuhku. Di depanku berdiri seorang wanita tua dengan badan membungkuk. Ada tonjolan sebesar tinju di punggungnya. Ia memakai gamis hitam. Pada lehernya melilit sebuah benda mirip akar pohon besar.
“Masuk!” ucapnya dingin setelah melihatku sekilas.
“Ada perlu apa kau kesini?”
Aku tak langsung menjawab. Kubuka perban yang membungkus tangan kananku.
“Ini, Mak,” kujulurkan tangan kananku ke arahnya.
“Jari kelingking saya tiba-tiba saja lenyap. Saya baru mengetahuinya setelah bangun tidur.”
Ia pegang tanganku kuat dan mencelupkannya ke dalam wadah sebesar mangkuk yang sepertinya terbuat dari tanah liat yang dibakar. Beberapa helai bunga yang mengapung di air tersebut, lengket di tanganku setelah ia mengangkat tanganku kembali.
“Bagaimana, Mak?”
“Kelingkingmu dicuri Jin!”
Aku tersentak. Lebih-lebih ia mengucapkan itu diiringi dengan tatapan yang garang
“Bbb…Bagaimana bisa?” ucapku terbata-bata.
“Kau telah dipilih. Kau orang pilihan! Kau akan jadi budak Jin!” ia memercik-mercikkan air di dalam wadah itu ke mukaku.
“Sebaiknya kau pulang. Karena kau akan segera dijemput.”
Aku bangkit dari dudukku, mengambi sandal dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan pondok dukun itu. Aku tak ingin mendengar lebih banyak lagi ocehannya. Semua tak masuk akal. Ada penyesalan dalam diriku telah datang ke tempat itu. Mustahil di zaman modern ini ada kepercayaan semacam itu. Cuih! Pasti ada penjelasan yang lebih logis mengenai hilangnya jari kelingkingku ini. Tapi, apa itu mungkin, pikirku kemudian.
Menghilangnya jari kelingkingku secara tiba-tiba itu saja sudah tidak logis, tidak masuk akal.
Menghilangnya jari kelingkingku secara tiba-tiba itu saja sudah tidak logis, tidak masuk akal.
Aku melangkah dengan seribu kegalauan di benakku. Tangan kananku aku benamkan dalam saku celana. Dengan begini, orang-orang tidak akan tahu kalau ada keanehan yang menimpaku, setidaknya untuk sementara ini.
Setiba di rumah, segera kuletakkan kepalaku di atas bantal dan tidur.
***
Sudah dua hari berselang, semenjak kedatanganku ke Puskesmas dan pondok dukun Karani. Sudah dua pula jariku yang lenyap. Kali ini jari manisku. Seperti halnya dengan jari kelingkingku kemarin, lenyapnya jari manisku juga tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Tak ada darah. Tak ada jejak luka. Aku semakin bingung dengan keanehan yang menimpaku ini. Namun, tidak mungkin aku datang kembali ke Puskesmas atau ke pondok dukun itu. Semua akan berakhir sia-sia.
Sebuah deringan dari ponsel yang telentang di meja kamar membuyarkan lamunanku.
“Apa kau akan datang hari ini, Doni?” ujar suara di seberang
“Maaf aku tidak bisa. Aku sedang sakit”
“Sakit apa?”
“Badanku meriang,” ucapku berbohong.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Akan kusampaikan ke teman-teman. Semoga kau cepat sembuh”
Telepon itu kemudian mati.
Aku semakin sadar kalau hidupku akan berubah. Aku mulai terkesan menghindari orang-orang. Sekedar menemui teman-teman saja aku tak lagi berani.
Dari jendela kamar yang telah kubuka setengahnya, tampak puncak merapi membumbung tinggi menembus gumpalan awan. Sinar keemasan matahari sore menyapu bentangan hijau di sana. Para buruh sawah terlihat pulang menyandang cangkul dan parang. Ah, sampai kapan aku akan berdiam diri di kamar? Bukankah busuknya bangkai akan ketahuan juga?
Setelah memastikan pintu rumah terkunci, aku berjalan menuju sebuah warung kecil tak jauh dari rumah. Beberapa pemuda seusiaku dan beberapa lelaki tua tengah bercakap-cakap ketika aku datang. Aku berusaha tak menghiraukan mereka, apalagi dari mereka banyak yang kurang senang denganku. Aku angkuh katanya. Aku sendiri tidak peduli, toh aku tidak terlalu kenal mereka.
“Pesan nasi dan tehnya satu, Tek,” ucapku pada pemilik warung. Kemudian aku duduk di bagian belakang, menjauh dari orang-orang itu. Terlihat pula olehku mereka berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahku.
“Kenapa tanganmu itu?” salah seorang dari mereka mendekat. Ia tampak heran dengan tangan kananku.
“Ah, saya sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba jari-jari saya hilang,” jawabku jujur. Entah kenapa aku merasa bosan untuk menutup-nutupinya.
“Maksudmu hilang begitu saja?”
“Iya”
“Wah, coba saya lihat,” kuperlihatkan tangan kananku kepadanya. Beberapa orang lainnya ikut mendekat. Mereka mengerumuniku.
“Benar-benar aneh. Tak ada bekas potongan sedikitpun!” seloroh pria yang paling tua. Ia mengurut-urut janggutnya sementara kepalanya menggeleng-geleng.
“Apa kau tidak merasakan sakit?” tambah yang lain.
“Tidak.”
Terdengar lagi mereka berbisik-bisik. Beberapa menatapku dengan penuh rasa jijik, beberapa lagi mengisyaratkan rasa iba. Aku yang telah menghabiskan nasi dan menyeruput tehku hingga tandas segera beranjak.
***
Rupanya tak butuh waktu lama bagi sebuah bangkai untuk tercium orang banyak. Pagi-pagi sekali, tepat ketika aku baru menyadari jari ketiga di tangan kananku telah lenyap pula, kudapati segerombolan orang berkumpul di depan rumah. Beberapa dari mereka memegang kamera berbagai ukuran. Wartawan rupanya. Ada yang dari daerah ini sendiri, dan adapula dari kota lain, bahkan dari ibukota. Aku tahu itu setelah melihat tanda pengenal mereka. Tampak dari sana logo sebuah media cetak yang telah besar namanya.
“Saudara Doni, bisa ceritakan prihal hilangnya jari-jari Anda secara misterius itu?” tanya salah seorang dari mereka yang terlihat masih muda. Mata pemuda itu menampilkan semangat yang meletup-letup. Aku pribadi salut pada orang-orang ini, karena tanpa memperkenalkan diri mereka sudah tahu namaku.
“Silahkan kalian masuk dulu,” aku tak perlu lagi berbasa-basi, tanpa kupersilahkan duduk pun mereka sudah duduk. Sebagian mereka memutar-mutar kepala mencoba menelisik seisi rumahku. Aku tahu, mata wartawan memang selalu ingin tahu.
“Baiklah teman-teman, saya rasa kalian semua sudah tahu kalau jari-jari di tangan kanan saya hilang begitu saja tanpa saya tahu penyebabnya,” ujarku seolah memberi orasi.
Mereka mengangguk-angguk. Adapula yang menjepret kameranya untuk mengambil fotoku. Aku melanjutkan.
“Semua terjadi begitu saja. Setelah bangun tidur, saya dapati pertama-tama kelingking saya yang hilang. Dua hari berikutnya jari manis dan baru saja pagi ini jari tengah yang ikut menyusul teman-temannya”
Semua terpesona.
“Tak ada jejak luka sedikitpun yang saya temui. Kalian bisa lihat sendiri, ini!” kuangkat tangan kananku tinggi-tinggi ke arah mereka.
Semua seketika sibuk menjepret-jepretkan kameranya. Beberapa saat ruang tamuku penuh cahaya seperti cahaya kilat.
Puas mengorek informasi dariku, mereka bubar. Ada juga yang menyempatkan foto bersama terlebih dahulu. Semua terlihat senang. Mereka telah mendapatkan bangkai yang mereka cari-cari dan akan segera menyebarkan bau bangkai itu kepada orang banyak. Pada akhirnya, semua orang akan menghirup bau bangkai itu bersama-sama.
Setelah kepergian para wartawan itu, ternyata masih banyak tamu-tamu tak diundang yang datang. Seperti sore tadi, beberapa reporter stasiun televisi beserta awak media lainnya. Mereka semua mencari bau bangkai.! Bahkan lurah turut datang bersama rombongannya, tak kalah menjual muka. Ada yang ingin tahu, ada pula yang mencoba mencari untung. Maka malam ini kuputuskan untuk menutup pintu rapa-rapat. Aku ingin beristirahat.
Baru beberapa saaat mataku terkatup, sebuah suara rebut-ribut menyentak tubuhku. Tak biasanya malam-malam begini di desaku ada suara yang begitu ribut. Maka, kutarik tubuhku dari ranjang mencoba mencari sumber suara. Belum sempat kedua kakiku menapaki lantai, sesuatu berdiri di bawah kolong tempat tidurku. Aku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat di sana. Tiga buah jari –kurasa itu jari-jariku yang lenyap- melotot menatapku. Matanya yang tak lebih besar dari beras itu seperti memendam benci.
“Apa mau kalian malam-malam begini? Oh ya, kenapa kalian meninggalkan tangan kananku?”
“Kami meningggalkanmu karena kau tak bisa menjaga kami sebagaimana tugasmu selaku manusia!”
“Apa maksud kalian? Kalian tak sepantasnya bicara seperti itu kepada pemilik kalian!” aku mulai emosi melihat tingkah mereka yang terkesan membangkang.
“Kau harus tahu bahwa kami bukan milikmu! Kami hanya dititipkan sebagai amanah kepadamu. Dan kau gagal menjalankan amanah itu!” tutur jari kelingking.
Aku tak kuasa lagi menahan geram. Aku ambil sapu yang ada di depanku dan memukulkannya ke arah mereka. Tapi, baru saja hendak mengayunkan sapu itu tanganku menjadi kaku. Aku tertahan. Tanganku yang lain seolah ikut berontak.
“Sudahlah, berhenti mempergunakan kami untuk keburukan. Kami sudah bosan dengan tingkah lakumu!” Jari manis tak kalah menimpali.
“Kau masih ingat dengan bocah yang kau tampar lantaran ia hanya meyenggolmu? Bocah itu selalu berdoa kepada Tuhan agar orang yang menamparnya mendapat malapetaka. Kami tak terima dipergunakan seperti itu!” jari tengah sebagai yang paling besar, yang dari tadi hanya diam kini ikut bicara.
“Tapi anak itu telah mengotori celanaku dan…”
“Bukan ia yang mengotorimu, tapi kau yang mengotori kami. Kau juga tak pernah memberi kesempatan pada kami untuk mengulurkan recehan agar bisa melihat senyum para pengemis,” ucap jari tengah lagi memotong kalimatku.
“Betul! Betul!” jawab yang lain serempak.
“Jangan menceramahiku! Kalian hanya sebuah jari. Aku masih bisa hidup tanpa kalian.” Mataku memerah menahan emosi. Akan tetapi jemari itu tak juga diam.
“Kau memang terlalu angkuh! Baiklah, kami hanya ingin menjemput teman-teman kami yang lain. Silahkan kau hidup tanpa kami!” Jemari itu lalu menyerangku. Mereka seperti menggigit sekujur tubuhku. Nafasku sesak, mataku berkunang-kunang. Setelah itu, semua trelihat gelap.
***
Aku tak tahu pasti apakah aku tertidur atau pingsan. Entahlah. Yang jelas, setelah mataku terbuka kembali ada rasa nyeri di sekujur tubuhku. Kudapati beberapa bagian kulitku terluka, dan… hal itu terjadi juga. Seluruh jemariku, termasuk jemari kaki lenyap. Semuanya berhasil pergi.
Padang, Juni 2010
0 komentar:
Posting Komentar