Translate

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 31 Mei 2012

Gemerincing di Simpang Jalan


Source : google picture
Ssstt…
Dengarkan teman
Ada raung yang menyusup di balik gubuk itu
Tentang harapan mereka mengenakan seragam seperti kalian
Ada tangan yang tengadah kepada Tuhan
Agar mereka bisa belajar membaca seperti kalian

Gemerincing tutup limun usang bergema membawa dendang
Di sepanjang persimpang jalan
“Tidakkah kau sekolah, Nak?” Tanya aspal dalam gelimang
Roda-roda berdebu
“Sekolah? Bagaimana caranya sekolah? Kami hanya tahu cara mencari makan”
Aspal terdiam
Gemerincing logam usang kembali berdendang

“Bisakah kau membaca, Nak?” Tanya trotoar
“Kami bisa membaca tanda-tanda”
“Tanda apa,Nak?”
Tanda jikalau hari akan kedatangan hujan
Tanda jikalau banyak orang dalam pintu-pintu angkot yang
Kami kejar
“Bisakah kau membaca buku, Nak?”
“Kami tak punya buku”
Gemerincing logam usang kembali berdendang

Hei, Kau..
Kau
Kau
Hei kau yang tengah tidur dalam gelimang susu
Dengarkah kau itu ?
Tangan-tangan kecil itu tak punya buku
Kau arak kemana pustaka kelilingmu?
Kau biarkan impian-impian itu mengapung
Dalam selokan
Bertarung melawan debu-debu

Ssst…
Lihatlah teman
Ada gumpalan cahaya mendekat
Putih.. bukan, bukan
Perak
Emas, entahlah..
“Cahaya apa itu?” Tanya logam yang berhenti bergemerincing
Malaikatkah mereka?
Bukan, mereka bukan malaikat
Malaikat bersayap, mereka berseragam

Cahaya putih, emas, perak itu kian mendekat
Satu, dua, tiga, mereka berseragam
Di tangan mereka tergenggam pelita kehidupan
Di bahu mereka bersandar beribu harapan
“Mari belajar membaca”

Tutup limun usang terjatuh dari tangan-tangan kecil
Yang tadi malam tengadah mengadu kepada Tuhan
Logam usang itu jatuh bergemerincing, kali ini tanpa
dendang
Bogor (pada sebuah senja dalam gerimis),  Mei 2012
:: puisi ini dibacakan sebagai puisi teatrikal dalam inagurasi IPB Mengajar @Seminar IDEA IPB

Minggu, 20 Mei 2012

Berhentilah Mengadu pada Badai, Bu !


Oleh : David Pratama

Bu, sudah berapa kali aku katakan kepadamu, berhentilah mengadu kepada badai! Tapi Ibu tetap saja tak mendengar ucapanku.

                “Ibu bisa mengendalikannya, Nak. Bagaimanapun juga Ibu pernah melakukannya,” ucap Ibu ketika sore itu kudapati rumah telah porak-poranda. Ibu terisak. Ada garis-garis merah di pipinya.

Aku lantas memutar pandang ke sekeliling rumah. Beling-beling bekas pecahan gelas dan piring bertebaran di lantai. Beberapa bingkai foto yang biasa berjejer rapi di atas lemari kecil di ruang tamu tergeletak begitu saja. Aku melirik ke salah satu  foto, seorang pria dengan kumis tipis. Ia tersenyum manis. Tangannya melingkar di pinggang seorang wanita. Tapi yang ada dibayanganku wanita itu bukan lagi ibu melainkan wanita lain yang telah mencuri milik ibu. Aku menghela napas. Ada luapan amarah yang tak tertahankan dalam diriku setelah membayangkan hal itu.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites