Translate

Minggu, 22 April 2012

Sebuah Senyuman Untuk Hujan


:: Cerpen ini memperoleh juara 1 Lomba Menulis Cerpen LMCE TPB IPB :-)

Ilustrasi
Guruh terdengar nyaring sementara awan gelap kian menebal. Walaupun baru jam empat sore, langit tampak mendung. Angin berhembus dingin, membawa uap air dari kejauhan. Ratih melonjak hatinya, gembira. Sebentar lagi hujan yang dinanti-nantikannya akan turun. Bergegas ia berjalan meninggalkan rumahnya.
            Dua buah payung besar lusuh yang masih terkatup telah ia kepitkan di ketiaknya. Dengan hati-hati, ia berjingkat melangkahi genangan air di lubang-lubang jalan. Beberapa helai rambutnya yang keriting kemerah-merahan jatuh di keningnya. Kaki kanannya yang setengah lumpuh ia seret sedemikian cepat. Gadis cilik berusia dua belas tahun itu terlihat sangat girang. Kekhawatirannya akan hujan yang tak turun sore ini terjawab sudah.
Sepuluh menit ia berjalan sampailah ia di pasar. Sama halnya dengan sore-sore sebelumnya, pasar tampak sibuk. Beberapa orang yang telah menyelesaikan urusan konsumtifnya berjalan tergesa-gesa. Tentu karena tak ingin pulang dalam keadaan basah kuyup. Pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang trotoar tak kalah sigap. Mereka mulai mengemas barang-barang dagangan mereka. Beberapa tenda mulai di lipat. Pakaian-pakaian murah yang menggangtung di sepanjang trotoar di angkat.
            Ia berhenti sejenak, menerawang ke langit yang kian gelap. Terbayang di benakknya sesosok perempuan ringkih yang tengah terbaring di atas dipan1 reyot di rumahnya.

“Ratih akan berusaha mendapatkan uang lebih hari ini. Ratih janji akan membawakan obat untuk, Amak2,” ucapnya setelah meletakkan segelas air di meja kecil di samping Amaknya terbaring. Air matanya jatuh ketika itu. Amak adalah satu-satunya orangtua yang masih ia punya setelah Abak3 setahun yang lalu meninggal terkena TBC.
Perempuan tua itu lantas berusaha menyunggingkan sebuah senyum. Ia berusaha menyampaikan sesuatu kepada anaknya itu, tetapi hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya. Kerongkongannya tercekat. Beberapa kali batuknya pecah.
            Perlahan, awan gelap mulai menurunkan rintik hujan. Butir beningnya berjatuhan menyelimuti keramaian, semakin lama semakin deras. Setelah berlari-lari kecil, akhirnya Ratih sampai juga di depan sebuah toko. Beberapa orang yang tidak sempat melarikan diri sebelum hujan turun terpaksa harus berdesakan di emperan-emperan toko. Dengan tangkas, Ratih segera mengembangkan payungnya. Lalu, ia berjalan di antara kerumunan orang yang berteduh itu.
            “Ojek payung, Bu, Pak !” ujarnya kepada orang-orang di sana. Seorang wanita paruh baya dengan dua plastik besar di jinjingannya mendekat.
            “Antarkan saya ke depan, ya. Sampai parkiran saja.” Ratih kemudian menyerahkan satu payungnya kepada ibu itu sedangkan ia mengekor dari belakang dengan payung satunya lagi.
            Tak butuh waktu lama ia sampai di sebuah parkiran di ujung pasar tersebut. Setelah menerima ribuan pertamanya, Ratih kian bersemangat. Tanpa buang waktu, kembali ia menghampiri kerumunan orang di emperan toko tadi.
            “Ojek payung, Bu, Pak ! Biar tidak basah dan belanjaannya tidak rusak.” Matanya berbinar-binar mendekati tiap orang yang berlindung di sana. Beberapa balas menatapnya jijik.
            Hujan semakin deras saja. Angin bertiup kencang. Penyewa ojek panyungnya satu persatu bertambah. Berkali-kali ia balik ke tempat parkiran atau pemberhentiaan angkot. Beberapa ribuan telah ia kumpulkan. Bahkan, untuk menambah pemasukan hari itu, ia rela menyewakan kedua payungnya dan merelakan tubuhnya basah di guyur hujan. Bibirnya yang membiru kedinginan menyunggingkan sebuah senyuman. Bayangan sebungkus nasi ampera dan obat untuk Amaknya seolah melecut semangatnya sehingga ia tak merasakan dingin yang mencengkeram sekujur tubuhnya yang kuyup.
            Sudah lama sebenarnya ia bekerja sebagai pengojek payung. Biasanya ia bekerja bersama kakak laki-lakinya yang lima tahun lebih tua darinya. Tapi, kakaknya itu saat ini sudah mendapatkan pekerjaan lain sebagai kuli angkut. Mau tidak mau ia yang harus meneruskan pekerjaan ini sendiri.  Apalagi sudah seminggu amaknya sakit. Jadi agar dapurnya tetap mengepulkan asap, ia dan kakaknya itu yang harus bekerja keras dari pagi sampai petang menjelang.
            Untuk mengenyam bangku pendidikan, cukup baginya sampai kelas 4 SD saja. “Yang penting kau kan sudah bisa berhitung dan membaca,” ujar Amaknya beberapa waktu silam saat ia harus berhenti dari sekolah. Kakak laki-lakinya yang sedikit lebih beruntung  karena berhasil menamatkan sekolah dasar. Itupun ketika ayahnya masih hidup.
            Bagi gadis cilik itu hujan sangat berarti. Dan nasib pulalah yang membuatnya begitu mencintai hujan. Tapi, alasannya mencintai hujan tentu berbeda dengan hal yang dirasakan anak-anak lain seusianya. Ia tak pernah menikmati hujan dalam pelukan seorang Ibu.  Ia tak pernah pula mendengar dongengan puteri dan raja yang bisanya akan diceritakan seorang ibu kepada anaknya dikala hujan, atau sekedar mencicipi manisnya cemilan bersama keluarga. Tak ada senda gurau di depan televisi, tak ada gendongan ayah kalau-kalau tubuhnya tersentak mendengar gemuruh. Yang ada baginya hujan adalah sumber penghidupan. Tak ada hujan, tak akan ada penyewa ojek payung, dan berarti tak kan ada pula biaya untuk makan.
***
            Tak terasa hujan telah mereda tepat saat senja menjemput malam. Hanya bersisa gerimis tipis yang jatuh perlahan. Gadis cilik Ratih beringsut. Kerumunan orang-orang yang berteduh di emperan toko telah bubar. Bahkan toko-toko iu mulai banyak yang tutup. Ratih menepikan tubuhnya yang memucat karena kuyup. Ia rogoh saku celananya dan mengeluarkan hasil jerih payahnya hari ini. Setelah ia hitung, pendapatan hari ini cukup banyak. Lima puluh tujuh ribu. Bibirnya menyunggingkan senyum, puas.
            Dengan langkah pasti ia berjalan menuju rumah makan lalu terus ke toko obat. Setelah membeli sebungkus nasi dan beberapa pil obat generik, ia pulang. Aroma ayam bakar yang mencuat dari dalam bungkusan kresek hitam mempercepat langkahnya. Payung tadi seperti biasa ia katupkan, lalu dikepitkan di ketiak. Setengah menari, ia mengayun-ayunkan kakinya di antara genangan air di sepanjang jalan.
            Satu harapannya muncul di bawah sinar keemasan lampu jalan yang mulai hidup, agar esok dan hari-hari berikutnya hujan kembali turun, seperti hari ini.***
Catatan :
  1. Dipan (bhsa Minang) : Kerangka kasur yang biasanya terbuat dari kayu
  2. Amak (bhasa Minang) : Panggilan untuk Ibu
  3. Abak (bhsa Minang) : Panggilan untuk Ayah

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites