:: Cerpen ini memperoleh juara 1 Lomba Menulis Cerpen LMCE TPB IPB :-)
Ilustrasi |
Dua
buah payung besar lusuh yang masih terkatup telah ia kepitkan di ketiaknya.
Dengan hati-hati, ia berjingkat melangkahi genangan air di lubang-lubang jalan.
Beberapa helai rambutnya yang keriting kemerah-merahan jatuh di keningnya. Kaki
kanannya yang setengah lumpuh ia seret sedemikian cepat. Gadis cilik berusia
dua belas tahun itu terlihat sangat girang. Kekhawatirannya akan hujan yang tak
turun sore ini terjawab sudah.
Sepuluh menit ia berjalan sampailah
ia di pasar. Sama halnya dengan sore-sore sebelumnya, pasar tampak sibuk.
Beberapa orang yang telah menyelesaikan urusan konsumtifnya berjalan
tergesa-gesa. Tentu karena tak ingin pulang dalam keadaan basah kuyup. Pedagang
kaki lima yang berjejer di sepanjang trotoar tak kalah sigap. Mereka mulai
mengemas barang-barang dagangan mereka. Beberapa tenda mulai di lipat.
Pakaian-pakaian murah yang menggangtung di sepanjang trotoar di angkat.
Ia
berhenti sejenak, menerawang ke langit yang kian gelap. Terbayang di benakknya
sesosok perempuan ringkih yang tengah terbaring di atas dipan1 reyot di rumahnya.
“Ratih akan berusaha mendapatkan
uang lebih hari ini. Ratih janji akan membawakan obat untuk, Amak2,” ucapnya setelah
meletakkan segelas air di meja kecil di samping Amaknya terbaring. Air matanya jatuh ketika itu. Amak adalah
satu-satunya orangtua yang masih ia punya setelah Abak3 setahun yang lalu meninggal terkena TBC.
Perempuan tua itu lantas berusaha
menyunggingkan sebuah senyum. Ia berusaha menyampaikan sesuatu kepada anaknya
itu, tetapi hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya. Kerongkongannya
tercekat. Beberapa kali batuknya pecah.
Perlahan,
awan gelap mulai menurunkan rintik hujan. Butir beningnya berjatuhan
menyelimuti keramaian, semakin lama semakin deras. Setelah berlari-lari kecil,
akhirnya Ratih sampai juga di depan sebuah toko. Beberapa orang yang tidak
sempat melarikan diri sebelum hujan turun terpaksa harus berdesakan di
emperan-emperan toko. Dengan tangkas, Ratih segera mengembangkan payungnya.
Lalu, ia berjalan di antara kerumunan orang yang berteduh itu.
“Ojek
payung, Bu, Pak !” ujarnya kepada orang-orang di sana. Seorang wanita paruh
baya dengan dua plastik besar di jinjingannya mendekat.
“Antarkan
saya ke depan, ya. Sampai parkiran saja.” Ratih kemudian menyerahkan satu
payungnya kepada ibu itu sedangkan ia mengekor dari belakang dengan payung
satunya lagi.
Tak
butuh waktu lama ia sampai di sebuah parkiran di ujung pasar tersebut. Setelah
menerima ribuan pertamanya, Ratih kian bersemangat. Tanpa buang waktu, kembali
ia menghampiri kerumunan orang di emperan toko tadi.
“Ojek
payung, Bu, Pak ! Biar tidak basah dan belanjaannya tidak rusak.” Matanya
berbinar-binar mendekati tiap orang yang berlindung di sana. Beberapa balas
menatapnya jijik.
Hujan
semakin deras saja. Angin bertiup kencang. Penyewa ojek panyungnya satu persatu
bertambah. Berkali-kali ia balik ke tempat parkiran atau pemberhentiaan angkot.
Beberapa ribuan telah ia kumpulkan. Bahkan, untuk menambah pemasukan hari itu,
ia rela menyewakan kedua payungnya dan merelakan tubuhnya basah di guyur hujan.
Bibirnya yang membiru kedinginan menyunggingkan sebuah senyuman. Bayangan
sebungkus nasi ampera dan obat untuk Amaknya seolah melecut semangatnya
sehingga ia tak merasakan dingin yang mencengkeram sekujur tubuhnya yang kuyup.
Sudah
lama sebenarnya ia bekerja sebagai pengojek payung. Biasanya ia bekerja bersama
kakak laki-lakinya yang lima tahun lebih tua darinya. Tapi, kakaknya itu saat
ini sudah mendapatkan pekerjaan lain sebagai kuli angkut. Mau tidak mau ia yang
harus meneruskan pekerjaan ini sendiri.
Apalagi sudah seminggu amaknya
sakit. Jadi agar dapurnya tetap mengepulkan asap, ia dan kakaknya itu yang harus
bekerja keras dari pagi sampai petang menjelang.
Untuk
mengenyam bangku pendidikan, cukup baginya sampai kelas 4 SD saja. “Yang
penting kau kan sudah bisa berhitung dan membaca,” ujar Amaknya beberapa waktu
silam saat ia harus berhenti dari sekolah. Kakak laki-lakinya yang sedikit
lebih beruntung karena berhasil
menamatkan sekolah dasar. Itupun ketika ayahnya masih hidup.
Bagi
gadis cilik itu hujan sangat berarti. Dan nasib pulalah yang membuatnya begitu
mencintai hujan. Tapi, alasannya mencintai hujan tentu berbeda dengan hal yang
dirasakan anak-anak lain seusianya. Ia tak pernah menikmati hujan dalam pelukan
seorang Ibu. Ia tak pernah pula
mendengar dongengan puteri dan raja yang bisanya akan diceritakan seorang ibu
kepada anaknya dikala hujan, atau sekedar mencicipi manisnya cemilan bersama
keluarga. Tak ada senda gurau di depan televisi, tak ada gendongan ayah
kalau-kalau tubuhnya tersentak mendengar gemuruh. Yang ada baginya hujan adalah
sumber penghidupan. Tak ada hujan, tak akan ada penyewa ojek payung, dan
berarti tak kan ada pula biaya untuk makan.
***
Tak
terasa hujan telah mereda tepat saat senja menjemput malam. Hanya bersisa
gerimis tipis yang jatuh perlahan. Gadis cilik Ratih beringsut. Kerumunan
orang-orang yang berteduh di emperan toko telah bubar. Bahkan toko-toko iu
mulai banyak yang tutup. Ratih menepikan tubuhnya yang memucat karena kuyup. Ia
rogoh saku celananya dan mengeluarkan hasil jerih payahnya hari ini. Setelah ia
hitung, pendapatan hari ini cukup banyak. Lima puluh tujuh ribu. Bibirnya
menyunggingkan senyum, puas.
Dengan
langkah pasti ia berjalan menuju rumah makan lalu terus ke toko obat. Setelah
membeli sebungkus nasi dan beberapa pil obat generik, ia pulang. Aroma ayam
bakar yang mencuat dari dalam bungkusan kresek hitam mempercepat langkahnya.
Payung tadi seperti biasa ia katupkan, lalu dikepitkan di ketiak. Setengah
menari, ia mengayun-ayunkan kakinya di antara genangan air di sepanjang jalan.
Satu
harapannya muncul di bawah sinar keemasan lampu jalan yang mulai hidup, agar
esok dan hari-hari berikutnya hujan kembali turun, seperti hari ini.***
Catatan :
- Dipan (bhsa Minang) : Kerangka kasur yang biasanya terbuat dari kayu
- Amak (bhasa Minang) : Panggilan untuk Ibu
- Abak (bhsa Minang) : Panggilan untuk Ayah
0 komentar:
Posting Komentar