source : google picture |
“Selamat ulang tahun, Bung. Tak terasa sudah 67 tahun saja umurmu !”
Ia tak acuh.
“Maaf, Bung. Aku tidak bisa memberimu hadiah apa-apa. Cukuplah ucapan selamat saja. Lagipula kau tentu sudah mendapat banyak hadiah. Aku lihat di tivi. Namamu ada di mana-mana.”
Ia hanya menatap jalanan yang mulai padat dipenuhi para pemudik.
“Apa kau mau kubuatkan teh barangkali? Oh, Bung. Tapi aku baru sadar kalau persediaan gula di rumah ini sudah menipis. Maklumlah, Bung. Saya hanya seorang penggangguran. Mana harga gula naik pula. Kau tentu tahulah sudah tradisi bahan-bahan pokok naik menjelang lebaran.”
“Tidak, perlu. Saya puasa.” Indonesia mulai angkat bicara. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah itu bergetar.
“Baiklah kalau begitu. Ada angin apa kau datang siang-siang begini? Di hari ulang tahunmu pula,” Saya menarik kursi rotan yang ada samping rumah dan mempersilahkannya duduk.
Indonesia duduk. Koran yang ada di genggamannya ia letak di atas meja di depan rumah. Kami duduk berhadapan.
Beberapa lama saya menunggunya mengeluarkan suara.
“Saya lelah, Bung. Saya lelah. Kenapa harus saya yang menjadi korban dari semua ini?” Badan Indonesia bergetar hebat. Ia memukul-mukulkan tangannya ke atas meja. Matanya menatap saya tajam.
Saya gelagapan. Tidak tahu mesti berbicara apa. “Mak… Maksud Bung Indonesia bagaimana ? Korban ap… apa ?”
Indonesia semakin menatap saya. Saya semakin ciut.
“Kau benar-benar tak mengerti, Bung. Kau tak mengerti ! Kau tidak sadar, heh? Aku semakin dikucilkan di pergaulan dunia. Kau tahu? Aku saat ini hanya dikenal sebagai figur pencetak koruptor ! Aku nyaris menempati posisi pertama di perkancahan korupsi tertinggi dunia. Aku semakin dianggap kecil, Bung ! Aku tidak punya kehormatan lagi di hadapan teman-temanku. Lautku yang luas yang sering disebut-sebut surga dunia hanya menjadi bahan cemoohan, Bung. Bagaimana tidak, di tengah laut yang luas itu penghuniku masih saja banyak yang kelaparan. Balita kekurangan protein dan akhirnya meninggal dengan kasus gizi buruk.”
Ia diam sesaat. Badan saya panas-dingin.
“Padahal dulunya aku punya nama besar, Bung. Siapa yang tidak kenal aku? Bertubi-tubi penjajah ingin menjamah tubuhku. Berganti-gantian mereka keluar-masuk. Dari dalam diriku ini pula lahir nama-nama besar. Kau tentu tahu Soekarno, Hatta, Hamka, M.Yamin, dan banyak lagi.”
Indonesia mengembangkan Koran yang ia bawa tadi.”Kau lihat, lihat ! Namaku semakin sering disebut-sebut dalam pemberitaan keji seperti ini. Aku salah apa, Bung? Ini bukan salahku ! Bukan aku yang menelan miliaran uang rakyat itu. Bukan aku yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan itu. Nah, ini ! Mereka ribut atas namaku. Katanya mereka ribut untuk membela nama baikku. Tapi, ciih ! Mereka itu benar-benar orang munafik. Atas dasar apa mereka bilang membelaku? Yang ada aku semakin tak berharga di mata dunia.
“Aku tidak bersalah, Bung. Aku merasa difitnah. Ini semua bukan salahku! Mereka yang melakukannnya. Para penjahat itu yang tengah menggerogotiku dan bertindak memakai namaku.”
Tubuh Indonesia kian bergetar. Kali ini napasnya tersengal-sengal.
“Kau tak apa-apa, Bung ? Mau aku ambilkan air putih? Barangkali kau kelelahan.”
Belum sempat ia menjawab, tubuhnya terjungkal ke samping. Badan Indonesia mengejang. Saya mencoba menangkat tubuhnya. Seketika saya rasakan suhu tubuhnya tinggi sekali. Dari mulutnya masih keluar umpatan-umpatan kesal. Tapi kerongkongannya tercekat. Alhasil hanya suara tarikan napas berat yang keluar dari mulutnya.
Saya tidak tahu harus bagaimana. Indonesia tengah sekarat. Siapa saja, tolonglah. Tolong Indonesia ! Kalau tidak ini hanya akan menjadi ulang tahun terakhirnya.
Cikarang, 17 Agustus 2012
:: untuk Indonesiaku yang tengah sekarat
0 komentar:
Posting Komentar