Dua jam setengah lamanya saya mencoba berdiplomasi dengan kedua bola mata ini untuk bisa mengatup barang dua jam saja. Saya begitu lelah. Lelah pikiran. Tapi apa dikata. Rupanya mata ini tak mau bernegoisasi, ya sudahlah. Saya menyerah. Saya turuti apa maumu, Mata !
Seekor cicak yang buntung ekornya menjadi tempat persinggahan Si Mata beberapa lama. Ada yang tidak sinkron antara otak dan mata. Dalam otak yang masih didominasi oleh logika saya bertanya, "Apa pentingnya memerhatikan cicak buntung ini, heh?"
Cicak itu mulai merayap ke arah lampu neon yang ada di langit-langit kamar saya. Pelan-pelan langkahnya. Apa yang sedang dikerjakannya? Pertanyaan saya mulai terjawab ketika seekor serangga (entah apa jenisnya) terbang berputar-putar mengelilingi lampu. Cicak buntung itu hanya diam memperhatikan.
Inikah yang dinamakan penantian ?
Lama cicak itu diam di posisinya yang hanya beberapa senti dari arah putaran terbang serangga. Mata saya makin agresif melototi dua makhluk itu ditambah lampu neon. Silau. Tapi Mata tak mau beranjak. Otak yang awalnya dihuni logika perlahan-lahan mulai berkompromi dengan Si Mata. Mulai melakukan aksi gila, mempertanyakan hal-hal bodoh.
Hei, Cicak. Seberapa lama kau mampu bertahan dalam penantian itu ?
Tidakkah kau bosan, heh ?
Kenapa tidak mencari target lain yang mungkin lebih memberi kepastian ?
Serangga itu kian asik berputar. Sesekali ia terbang mengitari posisi Si Cicak Buntung. Seolah mendapat sedikit harapan, Cicak itu berputar arah. Tapi, seett ! Serangga Tak Dikenal itu terbang agak menjauh. Kejadian itu membuat Si Cicak kembali ke posisi semula, menanti. Tak berselang lama, Serangga itu mulai berputar mendekat kembali. Ia mengelilingi neon dengan putaran-putaran variatif, kadang cepat kadang melambat, lalu hinggap beberapa saat. Cicak Buntung melihat targetnya hinggap di kap lampu neon, merayap sedikit demi sedikit. Ia mencoba mendekat. Ada secercah harapan tampaknya.
Satu per satu kakinya merayap mendekati kap lampu. Serangga itu masih diam di tempatnya. Cicak Buntung semakin dekat.
Ayo, Cak ! Sedikit lagi. Kau memiliki harapan !
Cicak Buntung telah berada dalam posisi yang strategis. Saya rasa, jaraknya sudah pas untuk sekali hap. Sembilan puluh persen ia akan mendapatkan targetnya itu. Lagipula Serangga Tak Dikenal itupun masih enggan untuk terbang. Entah ia benar-benar menjawab penantian Si Cicak Buntung dengan kepasrahan.
Tiba-tiba, dalam hitungan detik, Si Mata menangkap kejadian yang tak saya sangka. Tepat ketika Cicak Buntung mencoba menangkap targetnya, tepat ketika harapan itu nyaris berbuah manis, Serangga Tak Dikenal itu terbang. Ia melakukan manuver dengan cepat dan sigap. Cicak Buntung tak berdaya. Ia menempel pada kap lampu tanpa berhasil mendapatkan targetnya. Sang Target sesaat terbang mengitari Cicak Buntung yang masih menempel di kap lampu neon (entah itu menertawakan kebodohan Si Cicak Buntung yang begitu mudah percaya, entahlah) lalu ia menjauh. Yah, menjauh dan hilang di balik ventilasi kamar saya.
Ah, Cicak Buntung yang malang. Ternyata kau hanya mendapat harapan palsu !
Bodohnya Kau yang yakin begitu saja kalau Serangga itu akan menyerahkan dirinya padamu !
Lihat, sekarang Ia terbang entah kemana. Entah ke cicak yang lain, yang lebih tangguh dan tidak buntung seperti Kau !
Saya tertawa. Saya tertawa akan kebodohan Cicak Buntung itu.
Tapi, tapi tunggu. Ada yang aneh yang diputar dalam Otak, menghentikan tawa tersebut dalam sekejap. Yah, seperti putaran film hitam putih, samar-samar saya melihat Cicak Buntung itu berubah wujud menjadi Saya dan Serangga Tak Dikenal itu menjadi, KAU. Hei, kenapa ada Saya dan KAU di sana? Otak, apa yang kau lakukan? Dan, kau Mata. Apa ini ? Kenapa ada air yang kau keluarkan? Air ini mengalir perlahan di gurat-gurat pipi, hangat.
Bogor, Juli 2012
:: pada malam yang basah bukan karena keringat, tapi karena mengingat, KAU
1 komentar:
cieee, karena mengingat kau :P
Posting Komentar