Translate

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 11 Juli 2012

Menulis, Mengukir Keindahan Lewat Kata


Sebuah lukisan yang indah dengan kombinasi warna yang apik tentu tidak hadir dengan sendirinya. Pastilah ada tangan pelukis yang menciptakannya. Sebuah patung yang berdiri tegap dengan setiap sisi diukir secara proporsional juga tak muncul begitu saja, pastilah ada tangan pemahat yang menciptakannya. Melukis dan memahat merupakan kegiatan mengukir keindahan lewat alam benda. Lantas, bagaimana mengukir keindahan lewat alam kata?

            Menulis. Dengan menulislah serentetan kata yang berserakan mampu dipintal menjadi untaian kalimat yang indah. Dengan menulislah seseorang mampu menciptakan keindahan lewat alam kata. Maka dengan ini dapat kita katakan bahwa dunia kepenulisan adalah sebuah dunia dalam menghadirkan keindahan kata. Bagaimana bisa?

            Kembali kepada “melukis” dan “memahat” tadi. Kita umpamakan melukis, tanpa adanya kegiatan ini mustahil cat, kuas, dan kanvas bisa menyatu menghadirkan sebuah sketsa yang bisa dinikmati mata. Sama halnya dengan batu dan semen yang tanpa adanya proses memahat, tentu tidak akan mampu menciptakan ukiran pola yang menakjubkan. Begitulah kata. Ribuan, jutaan, bahkan miliaran kata bertebaran di sekitar kita. Di station, di perempatan jalan, di kelas, di dapur, di ruang tamu, di toilet, bahkan di dalam tidurpun terkadang ada kata-kata yang keluar atau mengambang dalam mimpi. Lantas, apakah kata-kata itu cukup diucapkan saja? Tentu tidak. Kata-kata jika hanya diucapkan mustahil bisa menciptakan keindahan yang sempurna. Bagaimana menyempurnakannya? Jawabannya, tuliskanlah kata-kata itu. Dengan menuliskan kata-kata maka kita telah memberinya “ruh” yang kemudian akan hidup dan berkembang menjadi kalimat. Kalimat-kalimat inilah yang kemudian hadir dalam bentuk puisi, cerita pendek, artikel, opini, dan buku.

            Ketika kata-kata itu telah menjelma menjadi bentuk yang konkrit dan bernyawa, ketika itulah keindahannya mampu dinikmati. Oleh karena itu, mulai saat ini berhentilah banyak bicara tanpa pernah menuliskan kata-kata tersebut. Banyak bicara tanpa menuliskan sama halnya menciptakan “bangkai-bangkai” kata karena kita tidak memberinya “ruh” dan membiarkannya mati begitu saja di statiun, di perempatan jalan, di kelas, di dapur, di pasar, di ruang tamu, di ruang makan, dan di toilet. (*)

Selasa, 10 Juli 2012

Pada secangkir kopi

1.
Kopi ini manis,
karena aku merangkai tiap butiran-butiran gula menjadi
senyummu yang utuh...

senyum yang tak kulihat dari mereka yang simpang siur menapak jejak
di depanku


2.
Aku melihatmu dalam secangkir kopi yang kuseduh dengan gula merah
bersama hujan yang mengetuk-ngetuk jendela diluar
aku membuang semua kepedihan yang pernah mampir

pelan-pelan,
aku mendengar bisikan hujan tentang penantian dan harapan..

Sabtu, 07 Juli 2012

Antara Bola Mata, Cicak, dan Kau


Dua jam setengah lamanya saya mencoba berdiplomasi dengan kedua bola mata ini untuk bisa mengatup barang dua jam saja. Saya begitu lelah. Lelah pikiran. Tapi apa dikata. Rupanya mata ini tak mau bernegoisasi, ya sudahlah. Saya menyerah. Saya turuti apa maumu, Mata !

Seekor cicak yang buntung ekornya menjadi tempat persinggahan Si Mata beberapa lama. Ada yang tidak sinkron antara otak dan mata. Dalam otak yang masih didominasi oleh logika saya bertanya, "Apa pentingnya memerhatikan cicak buntung ini, heh?"

Cicak itu mulai merayap ke arah lampu neon yang ada di langit-langit kamar saya. Pelan-pelan langkahnya. Apa yang sedang dikerjakannya? Pertanyaan saya mulai terjawab ketika seekor serangga (entah apa jenisnya) terbang berputar-putar mengelilingi lampu. Cicak buntung itu hanya diam memperhatikan.

Inikah yang dinamakan penantian ?

Lama cicak itu diam di posisinya yang hanya beberapa senti dari arah putaran terbang serangga. Mata saya makin agresif melototi dua makhluk itu ditambah lampu neon. Silau. Tapi Mata tak mau beranjak. Otak yang awalnya dihuni logika perlahan-lahan mulai berkompromi dengan Si Mata. Mulai melakukan aksi gila, mempertanyakan hal-hal bodoh.

Hei, Cicak. Seberapa lama kau mampu bertahan dalam penantian itu ?
Tidakkah kau bosan, heh ?
Kenapa tidak mencari target lain yang mungkin lebih memberi kepastian ?

Serangga itu kian asik berputar. Sesekali ia terbang mengitari posisi Si Cicak Buntung. Seolah mendapat sedikit harapan, Cicak itu berputar arah. Tapi, seett ! Serangga Tak Dikenal itu terbang agak menjauh. Kejadian itu membuat Si Cicak kembali ke posisi semula, menanti. Tak berselang lama, Serangga itu mulai berputar mendekat kembali. Ia mengelilingi neon dengan putaran-putaran variatif, kadang cepat kadang melambat, lalu hinggap beberapa saat. Cicak Buntung melihat targetnya hinggap di kap lampu neon, merayap sedikit demi sedikit. Ia mencoba mendekat. Ada secercah harapan tampaknya.

Satu per satu kakinya merayap mendekati kap lampu. Serangga itu masih diam di tempatnya. Cicak Buntung semakin dekat.

Ayo, Cak ! Sedikit lagi. Kau memiliki harapan !

Cicak Buntung telah berada dalam posisi yang strategis. Saya rasa, jaraknya sudah pas untuk sekali hap.  Sembilan puluh persen ia akan mendapatkan targetnya itu. Lagipula Serangga Tak Dikenal itupun masih enggan untuk terbang. Entah ia benar-benar menjawab penantian Si Cicak Buntung dengan kepasrahan.

Tiba-tiba, dalam hitungan detik, Si Mata menangkap kejadian yang tak saya sangka. Tepat ketika Cicak Buntung mencoba menangkap targetnya, tepat ketika harapan itu nyaris berbuah manis, Serangga Tak Dikenal itu terbang. Ia melakukan manuver dengan cepat dan sigap. Cicak Buntung tak berdaya. Ia menempel pada kap lampu tanpa berhasil mendapatkan targetnya. Sang Target sesaat terbang mengitari Cicak Buntung yang masih menempel di kap lampu neon (entah itu menertawakan kebodohan Si Cicak Buntung yang begitu mudah percaya, entahlah) lalu ia menjauh. Yah, menjauh dan hilang di balik ventilasi kamar saya.

Ah, Cicak Buntung yang malang. Ternyata kau hanya mendapat harapan palsu !
Bodohnya Kau yang yakin begitu saja kalau Serangga itu akan menyerahkan dirinya padamu !
Lihat, sekarang Ia terbang entah kemana. Entah ke cicak yang lain, yang lebih tangguh dan tidak buntung seperti Kau !

Saya tertawa. Saya tertawa akan kebodohan Cicak Buntung itu.
Tapi, tapi tunggu. Ada yang aneh yang diputar dalam Otak, menghentikan tawa tersebut dalam sekejap. Yah, seperti putaran film hitam putih, samar-samar saya melihat Cicak Buntung itu berubah wujud menjadi Saya dan Serangga Tak Dikenal itu menjadi, KAU. Hei, kenapa ada Saya dan KAU di sana? Otak, apa yang kau lakukan? Dan, kau Mata. Apa ini ? Kenapa ada air yang kau keluarkan? Air ini mengalir perlahan di gurat-gurat pipi, hangat.

Bogor, Juli 2012
:: pada malam yang basah bukan karena keringat, tapi karena mengingat, KAU

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites