Translate

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 18 Agustus 2012

(kunjungan) Indonesia

source : google picture
Siang kemarin Indonesia datang ke rumah saya, tepat ketika usianya 67 tahun. Wajahnya murung. Ia berjalan tertatih-tatih menuju halaman rumah saya. Di tangan kirinya tampak beberapa gulungan Koran yang agak remuk.

“Selamat ulang tahun, Bung. Tak terasa sudah 67 tahun saja umurmu !”

Ia tak acuh.

“Maaf, Bung. Aku tidak bisa memberimu hadiah apa-apa. Cukuplah ucapan selamat saja. Lagipula kau tentu sudah mendapat banyak hadiah. Aku lihat di tivi. Namamu ada di mana-mana.”

Ia hanya menatap jalanan yang mulai padat dipenuhi para pemudik.

“Apa kau mau kubuatkan teh barangkali? Oh, Bung. Tapi aku baru sadar kalau persediaan gula di rumah ini sudah menipis. Maklumlah, Bung. Saya hanya seorang penggangguran. Mana harga gula naik pula. Kau tentu tahulah sudah tradisi bahan-bahan pokok naik menjelang lebaran.”

“Tidak, perlu. Saya puasa.” Indonesia mulai angkat bicara. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah itu bergetar.
“Baiklah kalau begitu. Ada angin apa kau datang siang-siang begini? Di hari ulang tahunmu pula,” Saya menarik kursi rotan yang ada samping rumah dan mempersilahkannya duduk.

Indonesia duduk. Koran yang ada di genggamannya ia letak di atas meja di depan rumah. Kami duduk berhadapan.

Beberapa lama saya menunggunya mengeluarkan suara.

“Saya lelah, Bung. Saya lelah. Kenapa harus saya yang menjadi korban dari semua ini?” Badan Indonesia bergetar hebat. Ia memukul-mukulkan tangannya ke atas meja. Matanya menatap saya tajam.

Saya gelagapan. Tidak tahu mesti berbicara apa. “Mak… Maksud Bung Indonesia bagaimana ? Korban ap… apa ?”

Indonesia semakin menatap saya. Saya semakin ciut.

“Kau benar-benar tak mengerti, Bung. Kau tak mengerti ! Kau tidak sadar, heh? Aku semakin dikucilkan di pergaulan dunia. Kau tahu? Aku saat ini hanya dikenal sebagai figur pencetak koruptor ! Aku nyaris menempati posisi pertama di perkancahan korupsi tertinggi dunia. Aku semakin dianggap kecil, Bung ! Aku tidak punya kehormatan lagi di hadapan teman-temanku. Lautku yang luas yang sering disebut-sebut surga dunia hanya menjadi bahan cemoohan, Bung. Bagaimana tidak, di tengah laut yang luas itu penghuniku masih saja banyak yang kelaparan. Balita kekurangan protein dan akhirnya meninggal dengan kasus gizi buruk.”

Ia diam sesaat. Badan saya panas-dingin.

“Padahal dulunya aku punya nama besar, Bung. Siapa yang tidak kenal aku? Bertubi-tubi penjajah ingin menjamah tubuhku. Berganti-gantian mereka keluar-masuk. Dari dalam diriku ini pula lahir nama-nama besar. Kau tentu tahu Soekarno, Hatta, Hamka, M.Yamin, dan banyak lagi.”

Indonesia mengembangkan Koran  yang ia bawa tadi.”Kau lihat, lihat ! Namaku semakin sering disebut-sebut dalam pemberitaan keji seperti ini. Aku salah apa, Bung? Ini bukan salahku ! Bukan aku yang menelan miliaran uang rakyat itu. Bukan aku yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan itu. Nah, ini ! Mereka ribut atas namaku. Katanya mereka ribut untuk membela nama baikku. Tapi, ciih ! Mereka itu benar-benar orang munafik. Atas dasar apa mereka bilang membelaku? Yang ada aku semakin tak berharga di mata dunia.

“Aku tidak bersalah, Bung. Aku merasa difitnah. Ini semua bukan salahku! Mereka yang melakukannnya. Para penjahat itu yang tengah menggerogotiku dan bertindak memakai namaku.”

Tubuh Indonesia kian bergetar. Kali ini napasnya tersengal-sengal.

“Kau tak apa-apa, Bung ? Mau aku ambilkan air putih? Barangkali kau kelelahan.”

Belum sempat ia menjawab, tubuhnya terjungkal ke samping. Badan Indonesia mengejang. Saya mencoba menangkat tubuhnya. Seketika saya rasakan suhu tubuhnya tinggi sekali. Dari mulutnya masih keluar umpatan-umpatan kesal. Tapi kerongkongannya tercekat. Alhasil hanya suara tarikan napas berat yang keluar dari mulutnya.

Saya tidak tahu harus bagaimana. Indonesia tengah sekarat. Siapa saja, tolonglah. Tolong Indonesia ! Kalau tidak ini hanya akan menjadi ulang tahun terakhirnya.

Cikarang, 17 Agustus 2012
:: untuk Indonesiaku yang tengah sekarat

Rabu, 11 Juli 2012

Menulis, Mengukir Keindahan Lewat Kata


Sebuah lukisan yang indah dengan kombinasi warna yang apik tentu tidak hadir dengan sendirinya. Pastilah ada tangan pelukis yang menciptakannya. Sebuah patung yang berdiri tegap dengan setiap sisi diukir secara proporsional juga tak muncul begitu saja, pastilah ada tangan pemahat yang menciptakannya. Melukis dan memahat merupakan kegiatan mengukir keindahan lewat alam benda. Lantas, bagaimana mengukir keindahan lewat alam kata?

            Menulis. Dengan menulislah serentetan kata yang berserakan mampu dipintal menjadi untaian kalimat yang indah. Dengan menulislah seseorang mampu menciptakan keindahan lewat alam kata. Maka dengan ini dapat kita katakan bahwa dunia kepenulisan adalah sebuah dunia dalam menghadirkan keindahan kata. Bagaimana bisa?

            Kembali kepada “melukis” dan “memahat” tadi. Kita umpamakan melukis, tanpa adanya kegiatan ini mustahil cat, kuas, dan kanvas bisa menyatu menghadirkan sebuah sketsa yang bisa dinikmati mata. Sama halnya dengan batu dan semen yang tanpa adanya proses memahat, tentu tidak akan mampu menciptakan ukiran pola yang menakjubkan. Begitulah kata. Ribuan, jutaan, bahkan miliaran kata bertebaran di sekitar kita. Di station, di perempatan jalan, di kelas, di dapur, di ruang tamu, di toilet, bahkan di dalam tidurpun terkadang ada kata-kata yang keluar atau mengambang dalam mimpi. Lantas, apakah kata-kata itu cukup diucapkan saja? Tentu tidak. Kata-kata jika hanya diucapkan mustahil bisa menciptakan keindahan yang sempurna. Bagaimana menyempurnakannya? Jawabannya, tuliskanlah kata-kata itu. Dengan menuliskan kata-kata maka kita telah memberinya “ruh” yang kemudian akan hidup dan berkembang menjadi kalimat. Kalimat-kalimat inilah yang kemudian hadir dalam bentuk puisi, cerita pendek, artikel, opini, dan buku.

            Ketika kata-kata itu telah menjelma menjadi bentuk yang konkrit dan bernyawa, ketika itulah keindahannya mampu dinikmati. Oleh karena itu, mulai saat ini berhentilah banyak bicara tanpa pernah menuliskan kata-kata tersebut. Banyak bicara tanpa menuliskan sama halnya menciptakan “bangkai-bangkai” kata karena kita tidak memberinya “ruh” dan membiarkannya mati begitu saja di statiun, di perempatan jalan, di kelas, di dapur, di pasar, di ruang tamu, di ruang makan, dan di toilet. (*)

Selasa, 10 Juli 2012

Pada secangkir kopi

1.
Kopi ini manis,
karena aku merangkai tiap butiran-butiran gula menjadi
senyummu yang utuh...

senyum yang tak kulihat dari mereka yang simpang siur menapak jejak
di depanku


2.
Aku melihatmu dalam secangkir kopi yang kuseduh dengan gula merah
bersama hujan yang mengetuk-ngetuk jendela diluar
aku membuang semua kepedihan yang pernah mampir

pelan-pelan,
aku mendengar bisikan hujan tentang penantian dan harapan..

Sabtu, 07 Juli 2012

Antara Bola Mata, Cicak, dan Kau


Dua jam setengah lamanya saya mencoba berdiplomasi dengan kedua bola mata ini untuk bisa mengatup barang dua jam saja. Saya begitu lelah. Lelah pikiran. Tapi apa dikata. Rupanya mata ini tak mau bernegoisasi, ya sudahlah. Saya menyerah. Saya turuti apa maumu, Mata !

Seekor cicak yang buntung ekornya menjadi tempat persinggahan Si Mata beberapa lama. Ada yang tidak sinkron antara otak dan mata. Dalam otak yang masih didominasi oleh logika saya bertanya, "Apa pentingnya memerhatikan cicak buntung ini, heh?"

Cicak itu mulai merayap ke arah lampu neon yang ada di langit-langit kamar saya. Pelan-pelan langkahnya. Apa yang sedang dikerjakannya? Pertanyaan saya mulai terjawab ketika seekor serangga (entah apa jenisnya) terbang berputar-putar mengelilingi lampu. Cicak buntung itu hanya diam memperhatikan.

Inikah yang dinamakan penantian ?

Lama cicak itu diam di posisinya yang hanya beberapa senti dari arah putaran terbang serangga. Mata saya makin agresif melototi dua makhluk itu ditambah lampu neon. Silau. Tapi Mata tak mau beranjak. Otak yang awalnya dihuni logika perlahan-lahan mulai berkompromi dengan Si Mata. Mulai melakukan aksi gila, mempertanyakan hal-hal bodoh.

Hei, Cicak. Seberapa lama kau mampu bertahan dalam penantian itu ?
Tidakkah kau bosan, heh ?
Kenapa tidak mencari target lain yang mungkin lebih memberi kepastian ?

Serangga itu kian asik berputar. Sesekali ia terbang mengitari posisi Si Cicak Buntung. Seolah mendapat sedikit harapan, Cicak itu berputar arah. Tapi, seett ! Serangga Tak Dikenal itu terbang agak menjauh. Kejadian itu membuat Si Cicak kembali ke posisi semula, menanti. Tak berselang lama, Serangga itu mulai berputar mendekat kembali. Ia mengelilingi neon dengan putaran-putaran variatif, kadang cepat kadang melambat, lalu hinggap beberapa saat. Cicak Buntung melihat targetnya hinggap di kap lampu neon, merayap sedikit demi sedikit. Ia mencoba mendekat. Ada secercah harapan tampaknya.

Satu per satu kakinya merayap mendekati kap lampu. Serangga itu masih diam di tempatnya. Cicak Buntung semakin dekat.

Ayo, Cak ! Sedikit lagi. Kau memiliki harapan !

Cicak Buntung telah berada dalam posisi yang strategis. Saya rasa, jaraknya sudah pas untuk sekali hap.  Sembilan puluh persen ia akan mendapatkan targetnya itu. Lagipula Serangga Tak Dikenal itupun masih enggan untuk terbang. Entah ia benar-benar menjawab penantian Si Cicak Buntung dengan kepasrahan.

Tiba-tiba, dalam hitungan detik, Si Mata menangkap kejadian yang tak saya sangka. Tepat ketika Cicak Buntung mencoba menangkap targetnya, tepat ketika harapan itu nyaris berbuah manis, Serangga Tak Dikenal itu terbang. Ia melakukan manuver dengan cepat dan sigap. Cicak Buntung tak berdaya. Ia menempel pada kap lampu tanpa berhasil mendapatkan targetnya. Sang Target sesaat terbang mengitari Cicak Buntung yang masih menempel di kap lampu neon (entah itu menertawakan kebodohan Si Cicak Buntung yang begitu mudah percaya, entahlah) lalu ia menjauh. Yah, menjauh dan hilang di balik ventilasi kamar saya.

Ah, Cicak Buntung yang malang. Ternyata kau hanya mendapat harapan palsu !
Bodohnya Kau yang yakin begitu saja kalau Serangga itu akan menyerahkan dirinya padamu !
Lihat, sekarang Ia terbang entah kemana. Entah ke cicak yang lain, yang lebih tangguh dan tidak buntung seperti Kau !

Saya tertawa. Saya tertawa akan kebodohan Cicak Buntung itu.
Tapi, tapi tunggu. Ada yang aneh yang diputar dalam Otak, menghentikan tawa tersebut dalam sekejap. Yah, seperti putaran film hitam putih, samar-samar saya melihat Cicak Buntung itu berubah wujud menjadi Saya dan Serangga Tak Dikenal itu menjadi, KAU. Hei, kenapa ada Saya dan KAU di sana? Otak, apa yang kau lakukan? Dan, kau Mata. Apa ini ? Kenapa ada air yang kau keluarkan? Air ini mengalir perlahan di gurat-gurat pipi, hangat.

Bogor, Juli 2012
:: pada malam yang basah bukan karena keringat, tapi karena mengingat, KAU

Selasa, 19 Juni 2012

Mendulang Prestasi Tanpa Ekstasi


“Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa pada satu tahun terakhir ini, naik 5,6 persen dari 2006. Pada 2006, penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 1,1 juta orang atau hampir 30 persen dari total pengguna narkoba yang ada di Indonesia.”
Sungguh mengejutkan ketika angka tersebut meningkat tajam hanya dalam kurun waktu setengah dekade. Lantas timbul pertanyaan, mengapa hal ini dengan mudah terjadi?
Secara sederhana, kita bisa berpijak pada teori psikologis dan sosialis. Secara psikologis, narkoba dengan mudah meracuni pelajar dan mahasiswa karena adanya gangguan mental yang ditimbulkan oleh rasa kecewa, terkekang, rasa kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua, sampai pada rasa mengalami kegagalan yang teramat dalam. Sedangkan dalam teori sosialis (interaksi sosial) penyebabnya yakni kesalahan dalam memilih lingkungan sosial, misalnya memiliki teman akrab yang merupakan pengguna dan pemakai ekstasi.

Kamis, 31 Mei 2012

Gemerincing di Simpang Jalan


Source : google picture
Ssstt…
Dengarkan teman
Ada raung yang menyusup di balik gubuk itu
Tentang harapan mereka mengenakan seragam seperti kalian
Ada tangan yang tengadah kepada Tuhan
Agar mereka bisa belajar membaca seperti kalian

Gemerincing tutup limun usang bergema membawa dendang
Di sepanjang persimpang jalan
“Tidakkah kau sekolah, Nak?” Tanya aspal dalam gelimang
Roda-roda berdebu
“Sekolah? Bagaimana caranya sekolah? Kami hanya tahu cara mencari makan”
Aspal terdiam
Gemerincing logam usang kembali berdendang

“Bisakah kau membaca, Nak?” Tanya trotoar
“Kami bisa membaca tanda-tanda”
“Tanda apa,Nak?”
Tanda jikalau hari akan kedatangan hujan
Tanda jikalau banyak orang dalam pintu-pintu angkot yang
Kami kejar
“Bisakah kau membaca buku, Nak?”
“Kami tak punya buku”
Gemerincing logam usang kembali berdendang

Hei, Kau..
Kau
Kau
Hei kau yang tengah tidur dalam gelimang susu
Dengarkah kau itu ?
Tangan-tangan kecil itu tak punya buku
Kau arak kemana pustaka kelilingmu?
Kau biarkan impian-impian itu mengapung
Dalam selokan
Bertarung melawan debu-debu

Ssst…
Lihatlah teman
Ada gumpalan cahaya mendekat
Putih.. bukan, bukan
Perak
Emas, entahlah..
“Cahaya apa itu?” Tanya logam yang berhenti bergemerincing
Malaikatkah mereka?
Bukan, mereka bukan malaikat
Malaikat bersayap, mereka berseragam

Cahaya putih, emas, perak itu kian mendekat
Satu, dua, tiga, mereka berseragam
Di tangan mereka tergenggam pelita kehidupan
Di bahu mereka bersandar beribu harapan
“Mari belajar membaca”

Tutup limun usang terjatuh dari tangan-tangan kecil
Yang tadi malam tengadah mengadu kepada Tuhan
Logam usang itu jatuh bergemerincing, kali ini tanpa
dendang
Bogor (pada sebuah senja dalam gerimis),  Mei 2012
:: puisi ini dibacakan sebagai puisi teatrikal dalam inagurasi IPB Mengajar @Seminar IDEA IPB

Minggu, 20 Mei 2012

Berhentilah Mengadu pada Badai, Bu !


Oleh : David Pratama

Bu, sudah berapa kali aku katakan kepadamu, berhentilah mengadu kepada badai! Tapi Ibu tetap saja tak mendengar ucapanku.

                “Ibu bisa mengendalikannya, Nak. Bagaimanapun juga Ibu pernah melakukannya,” ucap Ibu ketika sore itu kudapati rumah telah porak-poranda. Ibu terisak. Ada garis-garis merah di pipinya.

Aku lantas memutar pandang ke sekeliling rumah. Beling-beling bekas pecahan gelas dan piring bertebaran di lantai. Beberapa bingkai foto yang biasa berjejer rapi di atas lemari kecil di ruang tamu tergeletak begitu saja. Aku melirik ke salah satu  foto, seorang pria dengan kumis tipis. Ia tersenyum manis. Tangannya melingkar di pinggang seorang wanita. Tapi yang ada dibayanganku wanita itu bukan lagi ibu melainkan wanita lain yang telah mencuri milik ibu. Aku menghela napas. Ada luapan amarah yang tak tertahankan dalam diriku setelah membayangkan hal itu.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites