Oleh : David Pratama
Bu,
sudah berapa kali aku katakan kepadamu, berhentilah mengadu kepada badai! Tapi
Ibu tetap saja tak mendengar ucapanku.
“Ibu
bisa mengendalikannya, Nak. Bagaimanapun juga Ibu pernah melakukannya,” ucap
Ibu ketika sore itu kudapati rumah telah porak-poranda. Ibu terisak. Ada
garis-garis merah di pipinya.
Aku lantas memutar
pandang ke sekeliling rumah. Beling-beling bekas pecahan gelas dan piring
bertebaran di lantai. Beberapa bingkai foto yang biasa berjejer rapi di atas
lemari kecil di ruang tamu tergeletak begitu saja. Aku melirik ke salah
satu foto, seorang pria dengan kumis
tipis. Ia tersenyum manis. Tangannya melingkar di pinggang seorang wanita. Tapi
yang ada dibayanganku wanita itu bukan lagi ibu melainkan wanita lain yang
telah mencuri milik ibu. Aku menghela napas. Ada luapan amarah yang tak
tertahankan dalam diriku setelah membayangkan hal itu.
Hari itu
benciku kepada Badai telah memuncak. Aku muak melihat Badai menyusup ke rumah
lalu hanya menghadirkan hujan di mata Ibu. Aku muak melihat secangkir teh
dengan beberapa potong pisang goreng yang ibu hidangkan berakhir di lantai.
Padahal aku tahu semua itu Ibu hidangkan dengan harapan agar Badai itu kembali
hadir dalam hari-harinya bukan sebagai hantu yang selalu menakut-nakuti setiap
sore di akhir pekan seperti ini. Aku muak melihat rumah kami diterjang dengan ibu
yang terisak sambil mengelus pipi di sudut dapur.
“Bu, bukankah
sudah kukatakan kini aku telah cukup dewasa untuk melawan Badai. Aku bisa
mengusir Badai itu dari rumah kita. Supaya tak ada lagi hujan di matamu.”
Ibu hanya
diam.
Maka sore itu, aku ingat ketika secangkir teh
di cawan hijau muda yang ibu hidangkan masih mengeluarkan asap dan Badai itu
tampak berjalan pongah dari ujung jalan, aku bergegas menuju dapur. Aku telah
berjanji kepada ibu. Sore ini akan menjadi sore terakhir Badai yang tak tahu
malu itu mampu melangkahkan kakinya ke rumah kami.
Badai itu
semakin mendekat. Aku telah siap. Dan ketika kedua kakinya menapak di halaman
rumah, ketika kulihat sosok Ibu tergopoh-gopoh membawa sepiring pisang goreng,
janjiku aku tuntaskan. Sebilah golok yang biasa ibu gunakan untuk membelah
kelapa berhasil aku tancapkan di kepalanya. Sebentar saja, tanpa perlawanan
yang berarti Badai itu menggelepar di halaman rumah kami. Di susul pekik Ibu
yang menggema dari dalam rumah.
“Apa yang kau
lakukan ! Itu Bapakmu, Nak !” Tangis Ibu pecah.
Dengan golok
yang masih di genggaman, aku tersenyum puas. Aku yakin, sore ini akan menjadi
sore terakhir aku melihat ibu menitikkan air mata.
Bogor, Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar