Translate

Minggu, 20 Mei 2012

Berhentilah Mengadu pada Badai, Bu !


Oleh : David Pratama

Bu, sudah berapa kali aku katakan kepadamu, berhentilah mengadu kepada badai! Tapi Ibu tetap saja tak mendengar ucapanku.

                “Ibu bisa mengendalikannya, Nak. Bagaimanapun juga Ibu pernah melakukannya,” ucap Ibu ketika sore itu kudapati rumah telah porak-poranda. Ibu terisak. Ada garis-garis merah di pipinya.

Aku lantas memutar pandang ke sekeliling rumah. Beling-beling bekas pecahan gelas dan piring bertebaran di lantai. Beberapa bingkai foto yang biasa berjejer rapi di atas lemari kecil di ruang tamu tergeletak begitu saja. Aku melirik ke salah satu  foto, seorang pria dengan kumis tipis. Ia tersenyum manis. Tangannya melingkar di pinggang seorang wanita. Tapi yang ada dibayanganku wanita itu bukan lagi ibu melainkan wanita lain yang telah mencuri milik ibu. Aku menghela napas. Ada luapan amarah yang tak tertahankan dalam diriku setelah membayangkan hal itu.




Hari itu benciku kepada Badai telah memuncak. Aku muak melihat Badai menyusup ke rumah lalu hanya menghadirkan hujan di mata Ibu. Aku muak melihat secangkir teh dengan beberapa potong pisang goreng yang ibu hidangkan berakhir di lantai. Padahal aku tahu semua itu Ibu hidangkan dengan harapan agar Badai itu kembali hadir dalam hari-harinya bukan sebagai hantu yang selalu menakut-nakuti setiap sore di akhir pekan seperti ini. Aku muak melihat rumah kami diterjang dengan ibu yang terisak sambil mengelus pipi di sudut dapur.

“Bu, bukankah sudah kukatakan kini aku telah cukup dewasa untuk melawan Badai. Aku bisa mengusir Badai itu dari rumah kita. Supaya tak ada lagi hujan di matamu.”

Ibu hanya diam.

 Maka sore itu, aku ingat ketika secangkir teh di cawan hijau muda yang ibu hidangkan masih mengeluarkan asap dan Badai itu tampak berjalan pongah dari ujung jalan, aku bergegas menuju dapur. Aku telah berjanji kepada ibu. Sore ini akan menjadi sore terakhir Badai yang tak tahu malu itu mampu melangkahkan kakinya ke rumah kami.

Badai itu semakin mendekat. Aku telah siap. Dan ketika kedua kakinya menapak di halaman rumah, ketika kulihat sosok Ibu tergopoh-gopoh membawa sepiring pisang goreng, janjiku aku tuntaskan. Sebilah golok yang biasa ibu gunakan untuk membelah kelapa berhasil aku tancapkan di kepalanya. Sebentar saja, tanpa perlawanan yang berarti Badai itu menggelepar di halaman rumah kami. Di susul pekik Ibu yang menggema dari dalam rumah.

“Apa yang kau lakukan ! Itu Bapakmu, Nak !” Tangis Ibu pecah.

Dengan golok yang masih di genggaman, aku tersenyum puas. Aku yakin, sore ini akan menjadi sore terakhir aku melihat ibu menitikkan air mata.
Bogor, Mei 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites