Sebuah lukisan yang indah dengan kombinasi warna
yang apik tentu tidak hadir dengan sendirinya. Pastilah ada tangan pelukis yang
menciptakannya. Sebuah patung yang berdiri tegap dengan setiap sisi diukir
secara proporsional juga tak muncul begitu saja, pastilah ada tangan pemahat
yang menciptakannya. Melukis dan memahat merupakan kegiatan mengukir keindahan
lewat alam benda. Lantas, bagaimana mengukir keindahan lewat alam kata?
Menulis.
Dengan menulislah serentetan kata yang berserakan mampu dipintal menjadi
untaian kalimat yang indah. Dengan menulislah seseorang mampu menciptakan
keindahan lewat alam kata. Maka dengan ini dapat kita katakan bahwa dunia
kepenulisan adalah sebuah dunia dalam menghadirkan keindahan kata. Bagaimana
bisa?
Kembali
kepada “melukis” dan “memahat” tadi. Kita umpamakan melukis, tanpa adanya
kegiatan ini mustahil cat, kuas, dan kanvas bisa menyatu menghadirkan sebuah
sketsa yang bisa dinikmati mata. Sama halnya dengan batu dan semen yang tanpa
adanya proses memahat, tentu tidak akan mampu menciptakan ukiran pola yang
menakjubkan. Begitulah kata. Ribuan, jutaan, bahkan miliaran kata bertebaran di
sekitar kita. Di station, di perempatan jalan, di kelas, di dapur, di ruang
tamu, di toilet, bahkan di dalam tidurpun terkadang ada kata-kata yang keluar
atau mengambang dalam mimpi. Lantas, apakah kata-kata itu cukup diucapkan saja?
Tentu tidak. Kata-kata jika hanya diucapkan mustahil bisa menciptakan keindahan
yang sempurna. Bagaimana menyempurnakannya? Jawabannya, tuliskanlah kata-kata
itu. Dengan menuliskan kata-kata maka kita telah memberinya “ruh” yang kemudian
akan hidup dan berkembang menjadi kalimat. Kalimat-kalimat inilah yang kemudian
hadir dalam bentuk puisi, cerita pendek, artikel, opini, dan buku.
Ketika
kata-kata itu telah menjelma menjadi bentuk yang konkrit dan bernyawa, ketika
itulah keindahannya mampu dinikmati. Oleh karena itu, mulai saat ini
berhentilah banyak bicara tanpa pernah menuliskan kata-kata tersebut. Banyak
bicara tanpa menuliskan sama halnya menciptakan “bangkai-bangkai” kata karena
kita tidak memberinya “ruh” dan membiarkannya mati begitu saja di statiun, di
perempatan jalan, di kelas, di dapur, di pasar, di ruang tamu, di ruang makan,
dan di toilet. (*)
1 komentar:
mari kita bangkitkan budaya menulis, ciptakan ruh-ruh yang dapat dikenang setiap saat. jangan biarkab hidup ini hanya menciptakan bangkai - bangkai kata yang bisa saja melahap, melumat bahkan menghancurkan di kemudian hari dengan kesia-sian. (sekedar saran, kalo pake kata serapan seperti station, di miringin vid, moga berguna :)
Posting Komentar