:: cerpen ini memperoleh Juara 3 Lomba Cipta Cerpen IPB Art Festival
Ilustrasi |
Ini sudah hari ke lima aku hanya
termenung dalam ruangan yang biasa aku gunakan untuk memainkan jemariku
meliuk-liuk di atas kanvas. Biasanya, pagi-pagi begini aku masuk, sore harinya
aku telah keluar dengan tangan dan baju berlumuran cat air beserta sebuah
senyum kemenangan. Senyum puas karena aku berhasil mengukir sebuah lukisan.
Yah, lukisan yang kemudian akan menjadi penghuni galeri-galeri di kota ini.
Tentu tak sulit untuk sebuah lukisan yang kuciptakan terjual dalam sebuah
pameran, kau tahu itu.
“Namamu
sudah besar, siapa yang tidak bisa melihat keindahan tiap goresan dalam
lukisanmu? Lukisanmu seolah mampu berbicara tentang dirinya sendiri. Wajar jika
pengagum karyamu ada di mana-mana,” ujarmu sore itu ketika kau menemuiku di
beranda rumah.
“Apa
kau tidak cemburu dengan pengagum-pengagumku itu?” Aku sedikit menggodamu,
membiarkan mataku menikmati garis-garis bibirmu yang khas setiap kali kau
merasa cemburu. Kau tidak akan pernah mengatakan ‘iya’. Aku tahu itu. Kau hanya
akan menatap ke dalam bola mataku seolah mencari keyakinan ucapanku di sana. Setiap
hal itu terjadi, aku tak bisa menatapmu. Aku akan membuang pandanganku ke arah
lain. Seperti kali itu, aku hanya menunduk. Menatap jari-jari kakiku yang
terkena tumpahan cat.
“Seminggu
lagi ulang tahunmu. Kau mau aku memberimu hadiah apa?” Aku coba mengalihkan
perhatianmu agar matamu segera lepas menatapku. Tapi tak ada jawaban darimu.
“Ra
?”
Kau
kemudian melepas pandanganmu, menerawang ke arah pohon jambu yang ada di
samping ruangan melukisku. Aku menghembuskan nafas panjang. Aku lega. Aku telah
terlepas dari pertanyaan-pertanyaan matamu.
“Aku
hanya ingin sebuah lukisan. Lukiskan untukku wajahmu.”
Aku
tersentak. Tak menyangka permintaan itu yang akan keluar dari mulutmu. Aku
beringsut menuju kursi rotan yang ada di sampingmu. Kutarik kursi itu ke depan
sehingga saat itu kita berhadap-hadapan.
“Apa
kau serius? Tidakkah kau menginginkan sebuah boneka beruang? Cincin? Atau
mungkin kau mau aku membelikanmu jam tangan? Yah, kelihatannya jam tanganmu
sudah terlalu lama.”
“Aku
hanya ingin lukisan wajahmu.”
Aku
tak bisa berkata-kata lagi. Aku tahu sayang, percuma aku mengeluarkan
serentetan kata. Kau tidak akan mengubah ucapanmu. Kau orang yang sederhana dan
kau selalu serius dengan ucapanmu.
“Baiklah,
aku akan membuatkannya untukmu.” Garis bibirmu seketika melengkung ke atas.
Terlihat barisan gigimu yang putih berjejer rapi, kau tersenyum. Senyum yang
selalu membuatku terserang stroke selama
sesaat.
***
Sayang,
ini sudah hari keenam aku hanya membiarkan cat air mengering di atas kanvas
tanpa membentuk sketsa apapun.
“Tentu
tak sulit bagi seorang pelukis muda berbakat sepertimu untuk melukiskannya,
bukan?” Saat itu gerimis. Aku menemuimu di taman belakang rumahmu tepat di hari
ketiga setelah hari kau mengucapkan permintaan itu. Kita duduk di pondok bambu
yang ada di sudut taman.
“Ayolah,
Ri. Ini hanya permintaan kecil dariku. Apa kau keberatan?”
Kujejalkan
kedua kakiku ke dalam kolam ikan yang ada di bawah pondok. Beberapa ekor ikan
mas berenang menjauh.
“Tidak,
aku tidak keberatan. Tapi apa artinya sebuah lukisan wajahku untukmu? Mengapa
kau tidak memintaku melukiskan wajahmu saja?” Kau tidak menjawab. Tatapanmu
mengarah ke kuncup melati di samping pondok.
Jika
aku boleh jujur padamu saat itu, aku ingin mengatakan bahwa aku telah mencoba
melakukannya. Selama tiga hari ini aku membenamkan diriku dalam ruangan melukis
bersama kanvas dan cat-cat air yang baru kubeli. Hanya sesekali ketika perutku
di serang lapar aku akan keluar dari ruangan itu. Bahkan kau tahu sayang, aku tertidur
di depan kanvas itu.
Bukan tidak ada yang berhasil
kulukis. Kau pasti tahu aku piawai dalam memainkan kuas dan cat. Selama
berhari-hari ini sudah banyak lukisan yang aku hasilkan. Namun aku selalu gagal
melukiskan wajahku. Ketika pertama kali kubiarkan tanganku hanyut dalam
iramanya yang kuhasilkan kau tahu apa? Sebuah gambar yang menunjukkan seekor
serigala yang sedang menyeringai. Yah, aku menggambar serigala, sayang. Kali
kedua aku mencoba yang kuhasilkan lagi-lagi gambar seekor serigala. Kali ini serigala
itu memperlihatkan senyum manis. Taring-taringnya yang tajam mengkilat
tersembunyi di balik sebuah senyuman penuh arti. Mata serigala itu membulat.
Dan sebelum aku menemuimu di taman
ini, untuk kali ketiga aku kembali mencoba melukiskan wajahku. Kupasangkan
sebuah potret diriku yang paling baru di samping kanan kanvas. Kuperhatikan
betul-betul raut wajahku yang saat itu tengah tertawa lepas. Kumis tipisku
terangkat. Kedua bola mataku menyipit. Alis mataku yang hitam lebat di sisi
kanan dan sisi kiri menyatu sehingga membentuk garis lurus tipis yang bertemu
di tengah-tengah dahiku. Kuperhatikan pula lekat-lekat tahi lalat kecil yang
menempel di dagu. Tapi tetap saja sayang, empat jam aku mencoba yang kuhasilkan
tetaplah raut wajah seekor serigala. Serigala ketiga ini adalah serigala dengan
tanduk domba di kepalanya.
Aku membanting kanvas itu ke
lantai, sama halnya yang kulakukan pada kedua kanvas dengan raut serigala yang
lain. Kayu kanvas itu berderak, patah. Aku memberontak kepada diriku sendiri.
Aku dorong meja kecil di depanku. Botol-botol cat dan beberapa kuas di atasnya
berserakan. Aku menangis sayang, aku menangis. Aku ambil cermin yang sengaja
kupasang di dinding ruangan. Kudekatkan wajahku ke arah cermin itu. Kuamati
lagi pantulan wajahku. Seekor serigala, ya aku melihat seekor serigala dengan
pandangan buas. Seringai itu, taring-taring tajam, seolah ingin menerkamku. Aku
lemparkan cermin itu. Derai pecahanannya memenuhi ruangan.
Aku berlari ke dalam rumah dan
menghempaskan tubuhku di atas kursi di ruang tamu. Kursi kayu itu berderit,
terkejut akan himpitan tubuhku yang secara tiba-tiba. Aku keluarkan sebungkus
rokok dari saku celanaku. Kutarik sebatang lantas menyulutnya segera. Kuhisap
dalam-dalam sambil menikmati serbuan asapnya masuk memenuhi paru-paruku. Aku
menerawang menatap langit-langit rumah. Kubiarkan pikiranku berkelana menembus
masa-masa itu. Beberapa potongan kejadian muncul dari ingatanku seperti
beberapa ekor burung yang keluar secara tiba-tiba dari dalam kotak Pandora.
Kejadian yang paling kuat muncul dalam ingatanku ketika itu adalah kejadian dua
tahun lalu.
***
“Bukankah kamu pernah mengatakan
sampai kapanpun kamu akan tetap setia bersama Cut? Lalu kenapa sekarang kamu
bilang hubungan kita harus berakhir? Cut sudah banyak berkorban untukmu. Cut
sudah rela meninggalkan rumah dan kedua orangtua Cut supaya bisa bersama kamu.
“Bukankah kamu pernah bilang kepada
Cut kamu akan membawa Cut, menikahi Cut dan kita akan menyewa rumah dengan
taman yang luas di halamannya? Lalu kenapa sekarang kamu mau meninggalkan Cut
sendirian?” Tangis Cut Meuthia ketika itu pecah. Air matanya mengalir deras.
Kedua bola matanya menatapku tajam. Aku kehilangan kata-kata. Tak ada satu
katapun yang keluar dari mulutku setelah kalimat ‘Cut, aku ingin mengakhiri hubungan ini. Mulai saat ini kita jalan
sendiri-sendiri.’
Sebenarnya hubunganku bersama Cut
Meuthia sudah berjalan selama dua tahun. Perkenalanku dengannya yang dimulai di
saat menghadiri galeri lukisan berlanjut menjadi hubungan yang serius. Aku
menaruh perasaan pada Cut begitupun ia. Kami menjalani hubungan dalam tekananan
keluarga Cut. Keluarganya tak setuju Cut dekat denganku. Keluarga Cut
mengharapkan anaknya menjauhiku. Namun, Cut tak pernah setuju dengan pandangan
orangtuanya yang menganggap aku lelaki tidak jelas, berandalan, tidak tahu
adat. Cut selalu percaya aku adalah pria sejati yang akan membuatnya selalu
bahagia. Dalam keyakinannya itu Cut memutuskan untuk memberontak. Ia lari dari
tekanan orangtuanya. Rupanya keyakinan Cut dan keseriusannya itu, saat ini
telah menjadi anak panah yang tengah terarah kepadanya. Kalimat yang kuucapkan
telah melepaskan anak panah itu dengan tajam.
Perasaanku kepada Cut telah hilang.
Aku tak lagi mencintainya. Kata-kata yang pernah kuucapkan padanya entah
terkubur di mana. Aku tidak tahu. Saat itu yang aku tahu, aku tidak kuasa
melakukan apapun selain diam membiarkannya memberontak dengan memukul-mukulku.
Cut terisak, tapi aku tak merasakan apa-apa. Hampa. Tak ada rasa bersalah
sedikitpun dari dalam hatiku. Yang ada dalam bayanganku saat itu adalah sesosok
wanita lain yang baru saja kukenal, kau.
Setengah jam lamanya kubiarkan Cut
menumpahkan segala amarahnya. Sampai tangan itu melemah dan Cut terduduk di
atas kursi taman. Beberapa kali jari-jari mungil Cut berusaha menyeka air yang
jatuh dari matanya. Tapi, tentu saja hal itu tak akan berhasil karena sumber
air mata itu sebenarnya jauh di dalam rongga dadanya yang tak dapat disentuh
oleh jemari mungilnya itu.
“Cut harap kamu tinggalkan Cut
sendiri di sini. Kamu pergi !” Itulah kali pertama Cut mengeluarkan nada tinggi
pada suaranya. Suaranya yang lembut tak pernah terlatih mengeluarkan kata-kata
keras. Tapi kali itu Cut membentakku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kusandang tas ranselku dan meninggalkannya sendiri di bangku itu, di taman itu,
tanpa aku pernah melirik ke belakang sekalipun.
***
Lamunanku terhenti. Pikiranku
kembali ketubuhnya. Aku terbatuk. Sudah hampir setengah bungkus rokok itu aku
habiskan. Aku teringat ucapanmu, “Lukisanmu
seolah mampu berbicara tentang dirinya sendiri.”
***
Ini adalah hari ketujuh dan ini
adalah hari ulang tahunmu. Semuanya sudah kusiapkan. Tiga buah lukisan dengan
raut wajah serigala yang seminggu ini aku ciptakan kugulung lalu kemudian
mengikatnya dengan pita berwarna kuning. Aku tahu, kau suka warna kuning.
Kurobek sebuah kertas dari buku catatanku. Kuukir sebuah kalimat di atasnya, “Kado untukmu, sebuah karya lukisan diriku,
dan inilah aku.” Kertas itu kemudian aku selipkan di antara ikatan pita.
Aku bergegas menuju rumahmu.
Sekitar pukul sembilan malam aku
sampai di depan pintumu, sayang. Tapi aku tak berniat bertemu denganmu. Kau
tentu juga tak ingin bertemu dengan seekor serigala bukan? Maka kuletakkan
gulungan kertas berisi lukisan wajahku itu di depan pintumu. Aku kemudian
berlari sekencang-kencangnya membawa tubuhku menjauh dari rumahmu.
Setelah jauh berlari dan napasku
tersengal-sengal, kudapati tubuhku sudah berada di atas sebuah gedung
bertingkat, sebuah apartemen. Malam ini cerah, sayang. Langit tak sedikitpun
menutupi kerlip bintang di sana. Lalu, di bawah sorot bulan yang memancarkan
cahaya penuh, aku melolong.
Taring-taringku mengkilat terkena cahaya bulan. Lolonganku panjang persis
seperti seekor serigala.***
0 komentar:
Posting Komentar