Translate

Minggu, 22 April 2012

Lukisan Wajah

:: cerpen ini memperoleh Juara 3 Lomba Cipta Cerpen IPB Art Festival

Ilustrasi


Ini sudah hari ke lima aku hanya termenung dalam ruangan yang biasa aku gunakan untuk memainkan jemariku meliuk-liuk di atas kanvas. Biasanya, pagi-pagi begini aku masuk, sore harinya aku telah keluar dengan tangan dan baju berlumuran cat air beserta sebuah senyum kemenangan. Senyum puas karena aku berhasil mengukir sebuah lukisan. Yah, lukisan yang kemudian akan menjadi penghuni galeri-galeri di kota ini. Tentu tak sulit untuk sebuah lukisan yang kuciptakan terjual dalam sebuah pameran, kau tahu itu.

            “Namamu sudah besar, siapa yang tidak bisa melihat keindahan tiap goresan dalam lukisanmu? Lukisanmu seolah mampu berbicara tentang dirinya sendiri. Wajar jika pengagum karyamu ada di mana-mana,” ujarmu sore itu ketika kau menemuiku di beranda rumah.

            “Apa kau tidak cemburu dengan pengagum-pengagumku itu?” Aku sedikit menggodamu, membiarkan mataku menikmati garis-garis bibirmu yang khas setiap kali kau merasa cemburu. Kau tidak akan pernah mengatakan ‘iya’. Aku tahu itu. Kau hanya akan menatap ke dalam bola mataku seolah mencari keyakinan ucapanku di sana. Setiap hal itu terjadi, aku tak bisa menatapmu. Aku akan membuang pandanganku ke arah lain. Seperti kali itu, aku hanya menunduk. Menatap jari-jari kakiku yang terkena tumpahan cat.


            “Seminggu lagi ulang tahunmu. Kau mau aku memberimu hadiah apa?” Aku coba mengalihkan perhatianmu agar matamu segera lepas menatapku. Tapi tak ada jawaban darimu.
            “Ra ?”

            Kau kemudian melepas pandanganmu, menerawang ke arah pohon jambu yang ada di samping ruangan melukisku. Aku menghembuskan nafas panjang. Aku lega. Aku telah terlepas dari pertanyaan-pertanyaan matamu.

            “Aku hanya ingin sebuah lukisan. Lukiskan untukku wajahmu.”

            Aku tersentak. Tak menyangka permintaan itu yang akan keluar dari mulutmu. Aku beringsut menuju kursi rotan yang ada di sampingmu. Kutarik kursi itu ke depan sehingga saat itu kita berhadap-hadapan.

            “Apa kau serius? Tidakkah kau menginginkan sebuah boneka beruang? Cincin? Atau mungkin kau mau aku membelikanmu jam tangan? Yah, kelihatannya jam tanganmu sudah terlalu lama.”

            “Aku hanya ingin lukisan wajahmu.”

            Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku tahu sayang, percuma aku mengeluarkan serentetan kata. Kau tidak akan mengubah ucapanmu. Kau orang yang sederhana dan kau selalu serius dengan ucapanmu.

            “Baiklah, aku akan membuatkannya untukmu.” Garis bibirmu seketika melengkung ke atas. Terlihat barisan gigimu yang putih berjejer rapi, kau tersenyum. Senyum yang selalu membuatku terserang stroke selama sesaat.

***

            Sayang, ini sudah hari keenam aku hanya membiarkan cat air mengering di atas kanvas tanpa membentuk sketsa apapun.

            “Tentu tak sulit bagi seorang pelukis muda berbakat sepertimu untuk melukiskannya, bukan?” Saat itu gerimis. Aku menemuimu di taman belakang rumahmu tepat di hari ketiga setelah hari kau mengucapkan permintaan itu. Kita duduk di pondok bambu yang ada di sudut taman.

            “Ayolah, Ri. Ini hanya permintaan kecil dariku. Apa kau keberatan?”

            Kujejalkan kedua kakiku ke dalam kolam ikan yang ada di bawah pondok. Beberapa ekor ikan mas berenang menjauh.

            “Tidak, aku tidak keberatan. Tapi apa artinya sebuah lukisan wajahku untukmu? Mengapa kau tidak memintaku melukiskan wajahmu saja?” Kau tidak menjawab. Tatapanmu mengarah ke kuncup melati di samping pondok.

            Jika aku boleh jujur padamu saat itu, aku ingin mengatakan bahwa aku telah mencoba melakukannya. Selama tiga hari ini aku membenamkan diriku dalam ruangan melukis bersama kanvas dan cat-cat air yang baru kubeli. Hanya sesekali ketika perutku di serang lapar aku akan keluar dari ruangan itu. Bahkan kau tahu sayang, aku tertidur di depan kanvas itu.

Bukan tidak ada yang berhasil kulukis. Kau pasti tahu aku piawai dalam memainkan kuas dan cat. Selama berhari-hari ini sudah banyak lukisan yang aku hasilkan. Namun aku selalu gagal melukiskan wajahku. Ketika pertama kali kubiarkan tanganku hanyut dalam iramanya yang kuhasilkan kau tahu apa? Sebuah gambar yang menunjukkan seekor serigala yang sedang menyeringai. Yah, aku menggambar serigala, sayang. Kali kedua aku mencoba yang kuhasilkan lagi-lagi gambar seekor serigala. Kali ini serigala itu memperlihatkan senyum manis. Taring-taringnya yang tajam mengkilat tersembunyi di balik sebuah senyuman penuh arti. Mata serigala itu membulat.

Dan sebelum aku menemuimu di taman ini, untuk kali ketiga aku kembali mencoba melukiskan wajahku. Kupasangkan sebuah potret diriku yang paling baru di samping kanan kanvas. Kuperhatikan betul-betul raut wajahku yang saat itu tengah tertawa lepas. Kumis tipisku terangkat. Kedua bola mataku menyipit. Alis mataku yang hitam lebat di sisi kanan dan sisi kiri menyatu sehingga membentuk garis lurus tipis yang bertemu di tengah-tengah dahiku. Kuperhatikan pula lekat-lekat tahi lalat kecil yang menempel di dagu. Tapi tetap saja sayang, empat jam aku mencoba yang kuhasilkan tetaplah raut wajah seekor serigala. Serigala ketiga ini adalah serigala dengan tanduk domba di kepalanya.

Aku membanting kanvas itu ke lantai, sama halnya yang kulakukan pada kedua kanvas dengan raut serigala yang lain. Kayu kanvas itu berderak, patah. Aku memberontak kepada diriku sendiri. Aku dorong meja kecil di depanku. Botol-botol cat dan beberapa kuas di atasnya berserakan. Aku menangis sayang, aku menangis. Aku ambil cermin yang sengaja kupasang di dinding ruangan. Kudekatkan wajahku ke arah cermin itu. Kuamati lagi pantulan wajahku. Seekor serigala, ya aku melihat seekor serigala dengan pandangan buas. Seringai itu, taring-taring tajam, seolah ingin menerkamku. Aku lemparkan cermin itu. Derai pecahanannya memenuhi ruangan.

Aku berlari ke dalam rumah dan menghempaskan tubuhku di atas kursi di ruang tamu. Kursi kayu itu berderit, terkejut akan himpitan tubuhku yang secara tiba-tiba. Aku keluarkan sebungkus rokok dari saku celanaku. Kutarik sebatang lantas menyulutnya segera. Kuhisap dalam-dalam sambil menikmati serbuan asapnya masuk memenuhi paru-paruku. Aku menerawang menatap langit-langit rumah. Kubiarkan pikiranku berkelana menembus masa-masa itu. Beberapa potongan kejadian muncul dari ingatanku seperti beberapa ekor burung yang keluar secara tiba-tiba dari dalam kotak Pandora. Kejadian yang paling kuat muncul dalam ingatanku ketika itu adalah kejadian dua tahun lalu.

***

“Bukankah kamu pernah mengatakan sampai kapanpun kamu akan tetap setia bersama Cut? Lalu kenapa sekarang kamu bilang hubungan kita harus berakhir? Cut sudah banyak berkorban untukmu. Cut sudah rela meninggalkan rumah dan kedua orangtua Cut supaya bisa bersama kamu.

“Bukankah kamu pernah bilang kepada Cut kamu akan membawa Cut, menikahi Cut dan kita akan menyewa rumah dengan taman yang luas di halamannya? Lalu kenapa sekarang kamu mau meninggalkan Cut sendirian?” Tangis Cut Meuthia ketika itu pecah. Air matanya mengalir deras. Kedua bola matanya menatapku tajam. Aku kehilangan kata-kata. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku setelah kalimat ‘Cut, aku ingin mengakhiri hubungan ini. Mulai saat ini kita jalan sendiri-sendiri.’

Sebenarnya hubunganku bersama Cut Meuthia sudah berjalan selama dua tahun. Perkenalanku dengannya yang dimulai di saat menghadiri galeri lukisan berlanjut menjadi hubungan yang serius. Aku menaruh perasaan pada Cut begitupun ia. Kami menjalani hubungan dalam tekananan keluarga Cut. Keluarganya tak setuju Cut dekat denganku. Keluarga Cut mengharapkan anaknya menjauhiku. Namun, Cut tak pernah setuju dengan pandangan orangtuanya yang menganggap aku lelaki tidak jelas, berandalan, tidak tahu adat. Cut selalu percaya aku adalah pria sejati yang akan membuatnya selalu bahagia. Dalam keyakinannya itu Cut memutuskan untuk memberontak. Ia lari dari tekanan orangtuanya. Rupanya keyakinan Cut dan keseriusannya itu, saat ini telah menjadi anak panah yang tengah terarah kepadanya. Kalimat yang kuucapkan telah melepaskan anak panah itu dengan tajam.

Perasaanku kepada Cut telah hilang. Aku tak lagi mencintainya. Kata-kata yang pernah kuucapkan padanya entah terkubur di mana. Aku tidak tahu. Saat itu yang aku tahu, aku tidak kuasa melakukan apapun selain diam membiarkannya memberontak dengan memukul-mukulku. Cut terisak, tapi aku tak merasakan apa-apa. Hampa. Tak ada rasa bersalah sedikitpun dari dalam hatiku. Yang ada dalam bayanganku saat itu adalah sesosok wanita lain yang baru saja kukenal, kau.

Setengah jam lamanya kubiarkan Cut menumpahkan segala amarahnya. Sampai tangan itu melemah dan Cut terduduk di atas kursi taman. Beberapa kali jari-jari mungil Cut berusaha menyeka air yang jatuh dari matanya. Tapi, tentu saja hal itu tak akan berhasil karena sumber air mata itu sebenarnya jauh di dalam rongga dadanya yang tak dapat disentuh oleh jemari mungilnya itu.

“Cut harap kamu tinggalkan Cut sendiri di sini. Kamu pergi !” Itulah kali pertama Cut mengeluarkan nada tinggi pada suaranya. Suaranya yang lembut tak pernah terlatih mengeluarkan kata-kata keras. Tapi kali itu Cut membentakku.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kusandang tas ranselku dan meninggalkannya sendiri di bangku itu, di taman itu, tanpa aku pernah melirik ke belakang sekalipun.

***

Lamunanku terhenti. Pikiranku kembali ketubuhnya. Aku terbatuk. Sudah hampir setengah bungkus rokok itu aku habiskan. Aku teringat ucapanmu, “Lukisanmu seolah mampu berbicara tentang dirinya sendiri.” 

***

Ini adalah hari ketujuh dan ini adalah hari ulang tahunmu. Semuanya sudah kusiapkan. Tiga buah lukisan dengan raut wajah serigala yang seminggu ini aku ciptakan kugulung lalu kemudian mengikatnya dengan pita berwarna kuning. Aku tahu, kau suka warna kuning. Kurobek sebuah kertas dari buku catatanku. Kuukir sebuah kalimat di atasnya, “Kado untukmu, sebuah karya lukisan diriku, dan inilah aku.” Kertas itu kemudian aku selipkan di antara ikatan pita. Aku bergegas menuju rumahmu.

Sekitar pukul sembilan malam aku sampai di depan pintumu, sayang. Tapi aku tak berniat bertemu denganmu. Kau tentu juga tak ingin bertemu dengan seekor serigala bukan? Maka kuletakkan gulungan kertas berisi lukisan wajahku itu di depan pintumu. Aku kemudian berlari sekencang-kencangnya membawa tubuhku menjauh dari rumahmu.

Setelah jauh berlari dan napasku tersengal-sengal, kudapati tubuhku sudah berada di atas sebuah gedung bertingkat, sebuah apartemen. Malam ini cerah, sayang. Langit tak sedikitpun menutupi kerlip bintang di sana. Lalu, di bawah sorot bulan yang memancarkan cahaya penuh, aku  melolong. Taring-taringku mengkilat terkena cahaya bulan. Lolonganku panjang persis seperti seekor serigala.***

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites