Translate

Sabtu, 10 Maret 2012

UANG PINJAMAN


                   Sore itu kudengar sayup-sayup dari balik dinding kamar suara ibu penuh kekesalan pada ayah.
                “Kalau kita sendiri hidupnya pas-pasan, kenapa harus sok sosial, Pak?” Begitu kata ibu bergetar. Bisa kubayangkan ayahku waktu itu mungkin hanya menunduk, mencoba menyabarkan diri.
                “Kita butuh uang yang tidak sedikit bulan ini. Anak-anak mesti bayar uang sekolah, belum lagi utang buku mereka yang sudah menungggak,” tambah Ibuku lagi.
                “Sabar, Buk. Pak Anto, temanku itu benar-benar butuh uang. Katanya kemarin ibunya datang dari kampung minta uang untuk berobat ayahnya yang stroke.” Ayah mulai bicara. Suaranya tenang, mencoba meredam kekesalan Ibu.
                “Percayalah, Buk. Dengan menolong orang suatu saat nanti kita juga akan ditolong oleh Allah. Lagipula kita masih bisa berhemat. Utang buku anak-anak kita bayar setengahnya saja dulu. Insya Allah kalau sudah dapat rezeki lebih, Bapak bakal lunasi.”

                Hal yang membuat ibu kesal sebenarnya adalah sifat dermawan ayah yang sangat tinggi kepada teman-temannya. Ayah suka tidak tegaan jika ada orang yang memelas meminta pertolongan. Ia akan memberi  apapun yang ia punya. Entah itu berupa uang ataupun tenaganya sendiri kalau tidak sedang memiliki uang. Walaupun sebenarnya gaji ayahku sebagai kuli bangunan memang tidak seberapa. Hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari dan sebagiannya disisihkan  untuk membiayai sekolahku beserta dua orang adikku.
                Seperti kali ini, ketika seorang temannya meminjam uang untuk berobat orangtuanya, ayah rela saja memberikan sebagian gajinya. Mungkin yang membuat kekesalan ibu tak bisa lagi dibendung ya ini. Gaji full yang diterima selama ini saja sudah harus diirit sekali untuk bisa memenuhi kebutuhan, apalagi sekarang gaji itu harus mengalami potongan karena ayah meminjamkan uangnya.
                Terkadang aku bangga pada sifat ayahku itu, tapi terkadang pula –seperti halnya ibu- ada sedikit kekesalan yang terbersit. Sebab, kalau sudah begini aku harus menyiapkan diri kalau uang jajanku akan mengalami potongan pula dari ibu. Sejauh ini aku tak pernah mengajukan protes. Kucoba untuk ikhlas. Seperti kata ayah yang selalu terngiang, kalau melukis kebaikan dengan keikhlasan maka yang akan muncul kebaikan pula. Kalau yang ditanam itu padi, maka yang akan tumbuh pastilah padi.
                “Kau sudah makan belum? Di dalam tudung masih ada lauk kemarin bersisa dua potong lagi. Pandai-pandailah berbagi dengan adik-adikmu. Ibu mau ke rumah Etek Eli sebentar,” ucap ibu yang tanpa kusadari sudah berdiri di ambang pintu kamarku.
                Aku hanya mengangguk. Ibu kemudian menutup kembali pintu dan beringsut menuju rumah sebelah. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar. Tadi di sekolah temanku memberi  traktiran kami sekelas nasi goreng. Katanya ia berulang tahun. Jadi, lauk yang masih bersisa itu biar utuk adik-adikku saja nanti.
***
                Sudah tiga hari ini kami sekeluarga makan seadanya. Nasi putih dari beras nomor dua dengan lauknya kalau tidak tempe, tahu, atau ikan bada. Ini semua akibat penekanan biaya yang menipis untuk bulan ini. Bahkan sudah beberapa kali pula aku tidak menerima uang jajan kecuali sekadar ongkos pulang-pergi sekolah. Aku pribadi tidak lagi terlalu mengeluh karena aku tahu apa yang menyebabkan semua ini. Hanya saja kedua adikku tampak dongkol dengan makanan yang tidak menggugah selera mereka itu. Sementara Ibu, masih saja menyimpan kesal kepada ayah meski kekesalan itu tidak ia perlihatkan secara langsung. Namun, terkadang rasa kesal itu keluar juga lewat sindiran tajam. Seperti yang terjadi saat makan malam kali ini.
                “Jangan salahkan Ibu kalau makanannya tidak enak. Ini semua karena ayah kalian. Kita dibiarkan terjepit sedangkan temannya diperlapang. Kita harus makan tempe sedangkan temannya itu tengah sibuk menguyah ayam,” ibu menceracau, penuh prasangka pada teman ayah.
                Mendengar ucapan Ibu seperti itu ayah sedikit tersedak. Setelah meneguk secangkir air putih, ia mencoba menguasai diri. “Astaghfirullah, Buk. Tidak baik berburuk sangka. Uang yang ia pinjam bukan untuk bersenang-senang. Uang  itu untuk berobat ayahnya,” balas Ayah sambil tangannnya menguap-ngusap dada. Wajah ayah seketika memerah. Ada kilatan kecewa di matanya. Sementara ibu seolah tak acuh saja.
                Aku menoleh ke arah ibu. “Bu, jangan terlalu begitu. Jangan sampai ucapan Ibu nantinya melukai hati ayah.”
                Ibu hanya melihat ke arahku sebentar setelah itu ia berpaling lagi dan berjalan menuju dapur sambil tangannnya mengangkat piring-piring kotor bekas makan.
                Aku mendekati ayah yang duduk bermenung di beranda rumah. Ia menengadah ke langit. Tatapannya kosong. Di bawah sinar lampu neon yang berkedip-kedip  antara ingin hidup dan mati, kulihat mata ayah sedikit berkaca-kaca. Aku bingung harus berkata apa. Suasana sepi. Hanya suara jangkrik yang mendengung diantara udara malam yang mulai dingin.
                Beberapa saat lamanya aku menggeser-geser dudukku gelisah. Kursi kayu yang tidak lagi kokoh ini berderit setiap kali tubuhku bergerak di atasnya.
                “Kau masih percayakan dengan ucapan Ayah?” Tiba-tiba ayahku mengeluarkan suara dari celah bibirnya yang beberapa lama tadi terkatup rapat.
                “Ya, aku selalu percaya kalau memberi kebaikan itu tidak akan membuat kita menderita.” Suaraku lirih. Beberapa kali aku menelan ludah sekadar membasahi kerongkonganku yang rasanya kering sekali.
                “Bagus. Kalau prinsip itu tetap kau pegang, kau tidak akan takut untuk memberi.” Ayah tersenyum kepadaku. Tampak kumisnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut putih itu bergerak naik ke atas.
                Sebenarnya ada yang mengganjal di pikiranku. Maka kuberanikan diri untuk bicara.
                “Yah, apakah sikap Ibu tadi menyakiti hati Ayah?” tanyaku, mencoba menyelam masuk ke dalam perasaannya. Ia tak langsung menjawab. Ia menepuk pundakku, menerawang sebentar ke atas, lalu menatapku sendu.
                “Tentu saja ada sedikit kekecewaan yang Ayah rasakan. Sebagai manusia yang telah dianugerahi hati dan perasaan, tidak bisa ditolak kalu kata-kata yang keluar dari mulut Ibumu tadi menggores luka di hati Ayah.”
                “Tapi Ayah memaafkan Ibu kan?”
                “Tentu. Tentu, Nak. Ayah tidak dendam. Mengapa Ibumu seperti itu Ayah mengerti,” ujar Ayahku serius.
                Dalam hati aku bangga dengan siakp ayahku ini. Pembicaraan kami kemudian berlanjut ke hal-hal lain. Tentang sekolahku, tentang keinginanku melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi favorit, dan serangkaian cita-cita yang lain. Tanpa terasa malam semakin larut. Udara pun semakin menggigilkan kulit.
                “Sekarang sebaiknya kau tidur. Besok harus sekolah kan? Ayah tidak mau anak Ayah sampai terlambat.”
                Aku mengangguk patuh. Kucium punggung tangan ayah dan melangkah menuju kamar. Setiab di kamar kudapati adik-adikku telah terlelap nyenyak. Aku mensrik kain sarung dan menyelimuti setengah tubuhku.
                ‘Ah, Ibu. Andai saja Ibu merasakn ha yang sama dan mengerti perasaan Ayah.’
***
                Siang itu, setelah selesai shalat zhuhur, ibu masuk ke kamarku denagn wajah yang memelas. Ia duduk di sebelahku menghadap ke jendela. Keahdiran ibu secara tiba-tiab ini membuatku bingung.
                “Ada apa, Bu ?”
                Ibu hanya diam seolah yang ingin disampaikannya itu teramat berat.
                “Ada yang ingin Ibu bicarakan denganku?” tanyaku lagi dengan rasa penasaran yang bertambah.
                “Begini, Ri. Mhm.. Ibu bisa memakai uang tabungmu dulu?” Jelas ada rasa tidak enak yang terpancar dari sorot matanya. Bicaranya tersendat-sendat. “Kau tahu kan kalau uang yang diberikan Ayah bulan ini sedikit sekali. Sementara pengeluaran kita cukup besar. Uangnya masih bersisa beberapa lagi, tapi itu tak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan kita dua minggu ke depan.”
                Aku mulai paham. Kejadian seperti ini sudah aku perkirakan sebelumnya.
                “Ya sudah, Bu. Pakailah ini.” Lantas kuserahkan tabunganku yang berbentuk ayam jantan itu kepada ibu.
                “Awal bulan nanti Ibu ganti.” Ibu lalu keluar dan menutup pintu kembali. Dari arah dapur beberapa saat setelah itu terdengar bunyi gemerincing uang recehan jatuh ke lantai.
                Ah, rupanya pantat tabunganku sudah dirobek Ibu.
                “Ri, Ibu ke pasar dulu. Tolong jaga rumah dan adik-adikmu, ya. Mereka ada di rumah sebelah sedang main.”
                Sudah menjadi kebiasaan ibuku untuk membeli bahan pangan menjelang sore begini. Katanya kalau sudah sore harga lauk-pauk akan merosot turun. Jauh lebih murah jika dibanding  pagi. Maklumlah, untuk menekan biaya pengeluaran semuanya harus diakal-akali.
***
                Sekitar pukul lima lewat ayah pulang.
                “Ke mana Ibumu?”
                “Ke pasar, Yah. Katanya mau membeli kebutuhan kita untuk beberapa hari ini.” Kuletakkan secangkir kopi yang baru kuseduh di meja keci di ruang tengah. Asapnya masih tampak mengepul.
                “Terima kasih, ya.” Ayahpun menuang kopi itu ke dalam piring kecil yang kuletakkan sebagai alasnya. Ia menyeruput penuh kenikmatan.
                Baru saja ayah hendak menyulut sebatang rokok, tiba-tiba Ibu pulang dengan mimik wajah yang sulit dijelaskan. Ada rasa sedih, gelisah, dan marah. Keringatnya bercucuran keluar.
                “Ada apa, Buk?” Ayah tak kalah bingungnya denganku.
                “Ondeh, Pak. Dompet Ibu hilang! Tidak tahu tercecer di mana.” Mata ibu berkilat-kilat.
                “Bagaimana bisa, Bu? Bagaimana kejadiannya?” Tanyaku tak kalah bingung.
                “Entahlah, waktu Ibu membayar beras, Ibu mengeluarkan uang dari dompet itu. Rasa-rasanya dompet itu sudah Ibu masukkan ke dalam saku celana kembali tapi, ketika sudah sampai di tempat penjualan ikan, Ibu periksa dompetnya sudah tidak ada.”
                “Mungkin saku celan Ibu tembus dan dompet itu terjatuh di tempat penjual beras?” tanyaku kemudian.
                “Tidak, nih. Sakunya masih baik. Tidak ada bolong sedikitpun,” jawab ibu sambil memperlihatkan saku celananya yang memang kelihatan baik-baik saja.
                “Duh, Pak. Itu uang untuk makan kita dua mingu ini. Semua persediaan uang Ibu masukkan kedalam dompet itu.” Ibu panik sekali dan ayah tidak tahu harus bicara apa lagi. Sudah menjadi kebiasaan Ibu pula menyimpan uang dalam satu tempat. Biar lebih mudah dibawa, katanya.
                Aku teringat uang tabungku yang baru saja dipinjam Ibu tadi. Mungkin uang itu telah ikut pula hilang bersama dompet itu.
                Sampai tengah malam, masih terdengar isak tangis Ibu di kamarnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Tapi, ibu masih saja larut dalam kegalauan hatinya. Akupun turut merasakan bagaimana kegalauan tersebut. Wajar saja, sebab hanya itu sisa uang kami.
                “Sabar, Bu. Istighfar…” Suara ayah terdengar berusaha menenangkan ibu. “Dalam musibah ini pasti ada hikmahnya. Allah tidak  akan menguji di luar kemampuan makhlukNya.”
                Ibu mencoba beristighfar, tapi tetap saja dengung isakannya lebih jelas terdengar.
                Kulirik kedua bocah yang ada disampingku. Wajah polos mereka tertidur pulas sekali seperti tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba saja aku merindukan masa kecilku. Ketika kecil aku tak pernah tahu dan mengerti apapun masalah yang tengah terjadi. Yang aku tahu hanya merengek jika keinginanku tidak terpenuhi. Ah, tentu waktu itu Ibu dan Ayah sangat kerepotan dengan sikapku.
                Di luar, langit kelam menurunkan gerimis yang jatuh mengetuk-ngetuk atap seng rumahku. Selain bunyinya, tak ada suara apapun yang mampu melebur isakan ibu termasuk binatang-binatang malam seperti jangkrik dan katak yang biasanya berbunyi. Semua seolah bersemayam dari balik udara yang meruapkan hawa dingin. Dan di saat itulah secara tiba-tiba bunyi pintu digedor memecah kesenyapan.
                Aku terkejut. Begitu juga ayah dan ibu yang langsung keluar dari kamarnya.
                “Assalamualaikum,” ucap seseorang di luar sana.
                “Ya, waalaikumsalam… tunggu sebentar.” Ayah berjalan ke arah pintu. Besi yang mengait bagian atas pintu ia geser ke bawah. Pintu terbuka. Di ambang pintu, di bawah keremangan malam sesosok pria  berdiri tegap dalam balutan mantel hujan.
                “Anto, ada perlu apa malam-malam begini?” Tanya ayah pada pria itu. Ibu mengerutkan kening. Anto, nama itu seolah tak asing lagi bagiku. Tapi, siapa?
                “Ini Pak Oyon, maaf sebelumnya sudah menganggu. Malam ini Saya mau berangkat ke kampong. Ada keperluan mendesak. Jadi, Saya datang ke sini mau mengembalikan uang yang saya pinjam ke Bapak dulu.” Pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari balik mantelnya dan menyerahkan ke tangan ayah.
                “Maaf lho, Pak Saya telat mengembalikannya. Ya sudah, Saya pamit dulu, Pak. Assalamualikum.” Pria itu kemudian melesat dengan sepeda motornya. Ayah tampak takzim dengan  yang baru saja terjadi.
                “Ini, Bu. Bapak rasa uang ini cukup untuk biaya sehari-hari kita dua minggu ini.”
                Ibu seolah tak percaya akan uang yang ada di tangannya. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia menangis haru dan memeluk ayah.
                Aku mengerti perasaan ibu. Ya Allah, andai saja ayah tidak memberi pinjaman uang kepada temannya itu, dan seperti biasa menyerahkan seluruh gajinya kepada Ibu, mungkin uang itu akan ikut hilang bersama dompet Ibu yang tercecer. Dan, entah bagaimana kami akan bertahan.
                ‘Ayah, kau benar. Jika melukis kebaikan dengan keikhlasan, maka yang akan muncul kebaikan pula.’
                Sementara itu di luar, hujan menderas.
Padang, Mei 2010

1 komentar:

HALO JUGA
Apakah Anda memiliki kartu kredit yang rendah dan Anda menemukan kesulitan untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank / lembaga keuangan lokal lainnya? Kami menawarkan pinjaman jangka panjang dan pendek sangat dengan harga murah dan moderat tingkat 2%, kami bersertifikat, terdaftar dan perusahaan kredit yang sah. Anda dapat memperoleh pinjaman mulai dari $ 5.000 hingga $ 100.000.000,00 Serikat menyatakan dolar. Durasi pembayaran pinjaman kami adalah antara 1-20 tahun. Jika Anda tertarik silakan hubungi kami melalui: tamaragustavsonloanfirm@gmail.com

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites