Translate

Selasa, 15 Februari 2011

Candu Becak


Setiap sore, setelah mandi, aku selalu berdiri di persimpangan kecil dekat rumahku. Aku tidak sendiri. Aku ditemani oleh sepupuku. Di sana ada sebuah pendakian yang kemiringannya cukup melelahkan untuk dilewati. Biasanya orang-orang yang mengendarai becak akan turun dari becaknya dan mendorong becak itu sampai jalan datar. Setelah jalannya datar beberapa meter, ada lagi sebuah penurunan yang cukup panjang.
            Di penurunan itulah letak sebuah kesenangan bagiku. Aku akan meloncat ke atasnya, kemudian turut turun di penurunan yang bagi kami berdua cukup menggerakkan adrenaline.
            Biasanya, hal ini sangat kami nikmati. Setelah penurunan, pengemudi becak akan berkata, “Sudah selesai. Sekarang kalian turun.”
            Dengan manis kami akan meloncat turun dan membalas, “Terima kasih, Pak. Besok numpang lagi, ya!”
            Tetapi itu tidak terjadi sore ini.
            Sebuah becak tampak melintas. Dari kejauhan becak itu tampak sesak oleh beberapa botol bekas, besi-besi dan alumunium, sebuah sepeda roda tiga usang, dan barang-barang rumah tangga lainnya yang telah terbuang.
“Becak ini tak akan cukup buat kita berdua,” ucapku waktu itu.
Sepupuku diam sesaat. “Kau saja yang naik,” balasnya sambil menepuk pundakku. Maka setelah becak itu mendekat, tanpa pikir panjang aku segera melompat.
            Tap... aku berhasil. Tetapi, tak lama berselang, sebuah benda keras terasa menghantam batok kepalaku. Kepalaku ngilu. Seketika itu juga aku melompat turun dan berjalan menghampiri sepupuku. Sesuatu pasti telah terjadi karena tiba-tiba saja ia meraung-raung melihatku. Aku yang ketika itu merasakan ngilu di kepalaku belum hilang, dihadapkan dengan tangisnya. Aku dilanda bingung. Tangisnya makin keras. Ia menunjuk-nunjuk kepalaku. Refleks, aku pegang kepalaku yang semakin menyentak-nyentak tersebut.
            Srrr... jantungku ikut berdetak kencang. Masih ingat olehku, tanganku ketika itu penuh dengan cairan merah. Darah! Ya, darah segar mengucur deras dari kepalaku. Aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Diantara tangis sepupuku yang semakin menjadi-jadi, perlahan kurasakan tubuhku melayang-layang sebelum akhirnya terhempas. Aku tak sadarkan diri.
            Ketika aku terbangun, kulihat aku telah berada di kamarku. Dan sepupuku membisikkan sesuatu ke telingaku. Sesuatu yang menjawab semuanya.
            “Tangkai payung itu menghantam kepalamu telak ,” ujarnya dingin.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites