Setiap sore, setelah mandi,
aku selalu berdiri di persimpangan kecil dekat rumahku. Aku tidak sendiri. Aku
ditemani oleh sepupuku. Di sana ada sebuah pendakian yang kemiringannya cukup
melelahkan untuk dilewati. Biasanya orang-orang yang mengendarai becak akan
turun dari becaknya dan mendorong becak itu sampai jalan datar. Setelah
jalannya datar beberapa meter, ada lagi sebuah penurunan yang cukup panjang.
Di
penurunan itulah letak sebuah kesenangan bagiku. Aku akan meloncat ke atasnya,
kemudian turut turun di penurunan yang bagi kami berdua cukup menggerakkan adrenaline.
Biasanya,
hal ini sangat kami nikmati. Setelah penurunan, pengemudi becak akan berkata,
“Sudah selesai. Sekarang kalian turun.”
Tetapi
itu tidak terjadi sore ini.
Sebuah
becak tampak melintas. Dari kejauhan becak itu tampak sesak oleh beberapa botol
bekas, besi-besi dan alumunium, sebuah sepeda roda tiga usang, dan
barang-barang rumah tangga lainnya yang telah terbuang.
“Becak ini tak akan cukup buat
kita berdua,” ucapku waktu itu.
Sepupuku diam sesaat. “Kau
saja yang naik,” balasnya sambil menepuk pundakku. Maka setelah becak itu
mendekat, tanpa pikir panjang aku segera melompat.
Tap...
aku berhasil. Tetapi, tak lama berselang, sebuah benda keras terasa menghantam
batok kepalaku. Kepalaku ngilu. Seketika itu juga aku melompat turun dan
berjalan menghampiri sepupuku. Sesuatu pasti telah terjadi karena tiba-tiba
saja ia meraung-raung melihatku. Aku yang ketika itu merasakan ngilu di
kepalaku belum hilang, dihadapkan dengan tangisnya. Aku dilanda bingung.
Tangisnya makin keras. Ia menunjuk-nunjuk kepalaku. Refleks, aku pegang
kepalaku yang semakin menyentak-nyentak tersebut.
Srrr...
jantungku ikut berdetak kencang. Masih ingat olehku, tanganku ketika itu penuh
dengan cairan merah. Darah! Ya, darah segar mengucur deras dari kepalaku. Aku
semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Diantara tangis sepupuku yang semakin
menjadi-jadi, perlahan kurasakan tubuhku melayang-layang sebelum akhirnya
terhempas. Aku tak sadarkan diri.
Ketika
aku terbangun, kulihat aku telah berada di kamarku. Dan sepupuku membisikkan
sesuatu ke telingaku. Sesuatu yang menjawab semuanya.
“Tangkai
payung itu menghantam kepalamu telak ,” ujarnya dingin.
0 komentar:
Posting Komentar