Seorang bapak tua menghampiriku ketika aku tengah duduk-duduk di depan rumah. Rambutnya telah memutih disepuh usia. Ia memakai baju koko putih lusuh yang mulai menguning dengan bawahan sarung yang bolong dimana-man. Bolongan itu seperti berusaha ditutupi denagn kain perca yang dijahit tak beraturan. Tubuhnya ringkih dan bungkuk. Tongkat yang ada di tangan kanannya berusaha menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Sementara di tangan kiri kotak yang bertuliskan “ infaq” ia pegang erat.
Melihat sosok itu, rekaman di memori otakku seakan di previous kembali ke beberapa tahun belakangan. Dan berhenti tepat ketika umurku 5 tahun.
***
Dulu di masa itu, di masa kanak-kanak ku, aku percaya betul kata ibu tentang manfaat sedekah. Bahwa malaikat akan tersenyum dan mendoakan agar Allah membalas kebaikan orang tersebut. Hal ini aku pegang kuat sampai di suatu siang ku coba laksanakan pituah itu.
Saat itu, aku disuruh ibu membeli beras. Ibu memberiku uang 5 ribuan. Tetapi, di perjalanan aku melihat seorang peminta-minta cacat. Kedua tangannya lumpuh. Kakinya berjalan tertatih-tatih. Saat itulah tiba-tiba saja pituah ibu tentang malaikat yang akn tersenyum berkelebat di otakku. Tanpa pikir panjang lagi kuserahkan uang tersebut ke dalam kaleng yang tersangkut di pinggang si bapak. Kemudian aku pulang tanpa membawa apa-apa.
Tiba di rumah ibu bertanya mana berasnya. Tanpa rasa bersalah sedikitpun, dengan enteng kujelaskan apa yang terjadi tadi kepada ibu. Ibu tertegun. Ada sedikit penyesalan telah menyuruhku di matanya. Namun, ia tidak marah.
Dua hari berlalu setelah kejadian itu, aku kembali melihat peminta-minta yang sama. Ia datang ke rumahku.
“Assalamualaikum… sedekahnya, Nak.”
Aku berteriak memanggil ibu. Dari arah dapur terdenagr suara ibu membalas, “Tolong kamu ambil uang yang da di atas meja dan berikan kepada bapak itu.”
Bergegas aku hampiri meja yang dimaksud ibu. Ad beberapa lembar uang di sana. Kupilih saja selembar uang tanpa aku tahu berapa harga nominalnya. Setelah uang itu kuserahkan, si bapak mengucapkan serangkaian doa yang tidak aku mengerti ketika itu, lalu mengucapkan terima kasih dan pergi.
Selang beberapa menit saja, ibu berteriak histeris memanggilku. Aku tersentak. Kutinggalkan kotak-kotak rokok yang tengah kususun.
“Dimana uang 50 ribu ibu ada di sini ?” telunjuk ibu bergerak-gerak di atas meja tadi, diantara lembaran uang yang tak ku tahu harganya.
Aku mengangkat bahu, menunduk. Dengan suara lirih ku katakan, “Aku Cuma memberi selembar uang kepada bapak peminta-minta tadi, Bu.”
Usai kalimat itu keluar dari mulutku, wajah ibu seketika melemas. Ia mendesah berat. “KAu tahu berapa nilai uang yang kau berikan itu? Itu bisa untuk makan kita selama seminggu.”
Yah, apa yang bisa kuperbuat. Sebagai hukuman atas kelakuanku itu, ibu tidak memberiku uang jajan beberapa hari berikutnya. Aku menangis. Tapi ibu bersikeras dengan pemdiriannya bahwa aku harus merasakan besarnya nilai uang 50 ribu.
Sore harinya, dua hari setelah ibu memvonis hukuman itu, ketika teman-teman seusiaku memainkan layangan, aku hanya bisa memandang mereka denag sedih. Tidak mungkin aku meminta uang kepada ibu sebab statusku masih dalam hukuman.
Di saat itu, tanpa pernah kuduga, bapk peminta-minta yang yang beberapa hari ini taka sing lagi bagiku datang menghampiri. Tangannya yang cacat memegang sesuatu yang kuharap-harapkan barusan. Sebuah layangan dengan warna merah menyala dengan bagian ekor bermotif api naga.
“Ini.. ambil layangan ini untukmu,” ujarnya mengagetkanku. Aku tak percaya. Layangan itu indah sekali. Dengan tangan gemetar aku menerimanya, setelah itu ia pergi.
Mataku berkaca-kaca. Bagaimana mungkin seseorang yang biasa di beri kini memberi. Aku ingin berteriak memanggil ibu bahwa malaikat telah tersenyum dan mendoakan aku.***
0 komentar:
Posting Komentar