Dipikir-pikir sudah lama sekali aku tak disentuh. Lama sekali kalimat-kalimat suci ku tidak lagi dilantunkan. Kini, lihatlah sososkku yang kesepian. Bentukku memang indah bila dipandang. Aku adalah al-qur’an keturunan Mesir. Kulitku menawan dihiasi benang-benang emas. Di situ terukir nama seorang ulama besar yang diakui adalah penulisku. Sementara setiap lembaran tubuhku terbuat dari kertas berkualitas tinggi. Goresan tinta yang melekat di atasnya indah dengan kaligrafi yang menyejukkan mata.
Namun, bagiku itu semua tidak ada arti. Sia-sia. Aku hanya menjadi sebuah pajangan. Harga diriku disamakan dengan barang-barang antik. Apa gunanya aku debeli dengan harga mahal jika dibiarkan begitu saja? Aku ingin diperlakukan sebagaimana mestinya.
Sebenarnya, bukan tidak pernah aku menerima perlakuan baik. Itu pernah terjadi di masa lalu, ketika aku baru saja tiba di negeri ini.
Waktu itu aku sangat senang. Bagaimana tidak, aku yang baru saja di beli disebuah toko buku di Mesir waktu itu, dibungkus dengan kertas warna-warni. Kemudian, aku dibawa ke negeri ini sebagai sebuah hadiah ulang tahun. Aku diserahkan kepada seorang anak laki-laki kecil. Masih ingat olehku, bagaimana senyum sumringah terukir di bibirnya. Aku dipeluk hangat dan dicium beberapa kali. Ku anggap itu sebagai ucapan selamat datang.
Anak laki-laki itu segera menjadi teman sejatiku. Dengan wudhu’ ia sentuh aku, dalam keadaan suci ia pegang tubuhku. Ia melantunkan kalimat-kalimatku dengan suara yang lirih dan keras. Keberadaanku terasa sangat berharga. Walaupun ketika itu nafanya terkadang masih tersengal-sengal mengejaku dan walaupun ada beberapa makhraj hurufku yang salah di lidahnya. Tetapi, itu tidak menjadi masalah berarti. Aku bahagia sekali.
Akan tetapi, seiring perjalan waktu dan pertambahan usianya, kesetiannya terhadapku perlahan mulia berkurang. Kini, ia telah dewasa. Nampaknya ia sudah tidak berminta lagi padaku. Keberadaanku tersisihkan oleh kesibukannya. Pamorku kalah oleh buku-buku politik, hukum, budaya, dan ekonomi. Kehadiran media cetak maupun elektronik menggeserku. Aku begitu asing. Tetapi, kenapa aku diperlakukan seperti itu? Bukankah aku ini pedoman untuk mengarungi kehidupan? Bukankah aku ini penunjuk jalan kebenaran? Dan akulah yang sesungguhnya nanti akan menjadi penerang di dalam kubur.
Aku sedih sekali menyadari sosokku sudah tidak dianggap lagi. Ia lebih senang berlama-lama membaca koran ketimbang mengejaku, ia lebih sibuk mencari informasi sana-sini dan melupakan informasi yang terkandung di tubuhku. Ketika ia sedih dan mendapat masalah, ia tidak pernah lagi menjadikan aku pelipur hatinya.
Sekarang, aku disimpan dengan rapi. Aku dibiarkan sendiri menjadi kusam dalam lemari dan berdebu. Terkadang aku rindu hembusan nafasnya yang hangat setiap kali melantunkan kalimat-kalimatku, aku rindu kerutan di dahinya setiap kali ia kesulitan mengejaku, dan… aku rindu sentuhan jemarinya.
Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berharap. Setiap malam selalu ku panjatkan doa kepada Rabbil’alamin semoga aku kembali disentuh sebelum hari pembalasan itu benar-benar datang.
0 komentar:
Posting Komentar