Source : google picture |
Ssstt…
Dengarkan
teman
Ada
raung yang menyusup di balik gubuk itu
Tentang
harapan mereka mengenakan seragam seperti kalian
Ada
tangan yang tengadah kepada Tuhan
Agar
mereka bisa belajar membaca seperti kalian
Gemerincing tutup
limun usang bergema membawa dendang
Di sepanjang
persimpang jalan
“Tidakkah
kau sekolah, Nak?” Tanya aspal dalam gelimang
Roda-roda
berdebu
“Sekolah?
Bagaimana caranya sekolah? Kami hanya tahu cara mencari makan”
Aspal
terdiam
Gemerincing logam
usang kembali berdendang
“Bisakah
kau membaca, Nak?” Tanya trotoar
“Kami
bisa membaca tanda-tanda”
“Tanda
apa,Nak?”
Tanda
jikalau hari akan kedatangan hujan
Tanda
jikalau banyak orang dalam pintu-pintu angkot yang
Kami
kejar
“Bisakah
kau membaca buku, Nak?”
“Kami
tak punya buku”
Gemerincing logam
usang kembali berdendang
Hei,
Kau..
Kau
Kau
Hei
kau yang tengah tidur dalam gelimang susu
Dengarkah
kau itu ?
Tangan-tangan
kecil itu tak punya buku
Kau
arak kemana pustaka kelilingmu?
Kau
biarkan impian-impian itu mengapung
Dalam
selokan
Bertarung
melawan debu-debu
Ssst…
Lihatlah
teman
Ada
gumpalan cahaya mendekat
Putih..
bukan, bukan
Perak
Emas,
entahlah..
“Cahaya
apa itu?” Tanya logam yang berhenti bergemerincing
Malaikatkah
mereka?
Bukan,
mereka bukan malaikat
Malaikat
bersayap, mereka berseragam
Cahaya
putih, emas, perak itu kian mendekat
Satu,
dua, tiga, mereka berseragam
Di
tangan mereka tergenggam pelita kehidupan
Di
bahu mereka bersandar beribu harapan
“Mari
belajar membaca”
Tutup
limun usang terjatuh dari tangan-tangan kecil
Yang
tadi malam tengadah mengadu kepada Tuhan
Logam
usang itu jatuh bergemerincing, kali ini tanpa
dendang
Bogor (pada sebuah
senja dalam gerimis), Mei 2012
:: puisi ini dibacakan sebagai
puisi teatrikal dalam inagurasi IPB Mengajar @Seminar IDEA IPB